Senin 06 Jan 2020 06:19 WIB

Apa Akar Masalah Banjir Jakarta?

Sodetan Sungai Ciliwung ke BKT diklaim akan berdampak signifikan atasi banjir.

Rep: Ali Mansur/Antara/ Red: Bilal Ramadhan
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saat gotong-royong membersihkan sampah sisa banjir di Lapang Pilar, Jalan Jembatan Lama, Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, Ahad (5/1)
Foto: Republika/Flori Sidebang
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saat gotong-royong membersihkan sampah sisa banjir di Lapang Pilar, Jalan Jembatan Lama, Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, Ahad (5/1)

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam dua bulan terakhir, terjadi hujan dengan intensitas tinggi hingga menyebabkan banjir di Jakarta dan sekitarnya. Banjir paling parah terjadi akibat hujan di malam penghujung tahun 2019 hingga pagi pertama pada 2020 hingga menyebabkan 53 orang meninggal dunia hingga Sabtu (4/1).

Tentu banyak penyebab terjadinya banjir yang parah di Jakarta dan sekitarnya, dari masalah di hulu dengan penghijauan dan daerah resapan air yang terus berkurang, hingga perencanaan di hilir yang dinilai tidak maksimal.

Peneliti dari Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak siap menghadapi banjir. Menurutnya, banjir yang terjadi di hari pertama pada tahun 2020, cukup membuktikan, Pemprov tidak banyak melakukan antisipasi banjir. Padahal ia menilai, saat ini belum memasuki puncak musim hujan.

"Program penataan bantaran kali masih terhenti akibat ketidaksepakatan atau perbedaan konsep penanganan normalisasi maupun naturalisasi," ujar Nirwono kepada Republika, akhir pekan lalu.

Tidak hanya itu, Nirwono juga mempertanyakan pembebasan lahan di bantaran kali yang tidak berlanjut. Padahal pada Juni 2019 lalu sempat banjir di permukiman bantaran kali. Kemudian revitalisasi situ, embung, waduk atau danau juga berjalan lambat untuk dikeruk dan diperdalam. Bahkan masih ada kendala pembebasan lahan untuk pembangunan waduk  baru terhenti.

Selain itu, menurutnya banjir membuktikan masih buruknya sistem saluran air kota Jakarta yang sangat tidak memadai. Ditambah penambahan ruang terbuka hijau (RTH) baru pun tidak signifikan yang membuat daerah resapan air tidak bertambah banyak. Sehingga genangan air pun tidak terelakkan dan menjadi banjir.

"Saat ini penyebabnya hujan lokal, atau banjir lokal yaitu saluran air tidak berfungsi optimal, daerah resapan air yang minim serta hujan lebat di puncak, luapan air sungai yang membanjiri pemukiman di bantaran kali atau kiriman," kata dia menjelaskan.

Nirwono mengatakan, untuk solusi jangka panjang, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan bisa merelokasi besar-besaran permukiman di tepi bantaran kali dan tepi situ, waduk, embung atau danau ke rusunawa terdekat. Juga melakukan penataan terhadap 13 bantaran sungai, baik dengan normalisasi atau naturalisasi atau perpaduan keduanya. Selanjutnya, juga melakukan revitalisasi terhadap 109 situ, embung, waduk, atau danau yang ada di Jakarta.

"Rehabilitasi saluran air segera secara bertahap bisa bersamaan dengan revitalisasi trotoar yang sedang dilakukan. Percepat penambahan RTH dari luas 9,98 persen menjadi 30 persen sebagai daerah resapan air kota," usul Nirwono.

Saat ini, kata Nirwono, saluran air di Jakarta hanya 33 persen yamg berfungsi dengan baik. Sementara curah hujan tinggi pun dapat tertampung dengan baik dan mengantisipasi banjir kalau drainase DKI Jakarta berfungsi. Namun semua langkah di atas perlu sinergitas pusat dan daerah tidak mungkin jalan sendiri-sendiri.

Masalah drainase memang sempat disinggung sebagai penyebab banjir pada 17 Desember 2019 lalu. Saat itu, hujan yang terjadi pada siang hari selama 3-4 jam, menimbulkan banjir di banyak titik.

Kepala Pusat Data dan Informasi Kebencanaan (Kapusdatin) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, M. Ridwan mengatakan, genangan diduga karena saluran drainase yang kurang berfungsi baik. “Karena volume air yang besar sehingga air hujan yang tidak langsung masuk dalam saluran,” kata Ridwan.

Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Juaini Yusuf mengakui, memang butuh waktu agar genangan air dari hujan deras mengalir ke drainase. Tetapi, Juaini memastikan genangan air tidak akan berlangsung lama.

"Karena sampai saat ini pekerjaan pengerukan menjelang musim penghujan masih terus dilakukan," kata Juaini.

Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menerjunkan tim ke berbagai daerah untuk mencari penyebab banjir. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, pada Jumat (3/1) lalu, sebanyak 287 pegawai Kementerian PUPR disebar ke 180 titik yang direkomendasikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"Apakah ada tanggul yang jebol, apakah ada drainase yang tersumbat, apakah ada pompa yang rusak, atau yang lain-lain seperti kemarin di KM 24 tol Jakarta-Cikampek," kata Basuki.

Basuki juga menjelaskan langkah pemerintah menanggulangi banjir di kawasan Jabodetabek yang dilakukan dari hulu, tengah, hingga ke hilir. Salah satunya dengan membangun sodetan dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT).

Di bagian hulu, pihaknya meneruskan pembangunan bendungan di Sukamahi dan Ciawi, Bogor yang dipercepat tahun ini. Saat ini progres pembangunan dua bendungan di Bogor itu baru mencapai 45 persen dan diharapkan akhir tahun 2020 bisa rampung.

Kemudian, di bagian tengah, langkah yang dilakukan dengan normalisasi atau naturalisasi sungai. Meski berbeda istilah, Basuki mengatakan inti dari langkah itu sama saja, yakni melebarkan sungai agar bisa menampung air lebih banyak.

Adapun untuk sodetan dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT), lanjut Basuki, juga diklaim akan sangat berdampak signifikan terhadap volume air yang mengalir di bagian hilir. Ia mengatakan rampungnya sodetan memang masih menjadi pekerjaan rumah karena tergantung pada pembebasan lahan di sekitar Sungai Ciliwung yang ditempati warga.

"Alhamdulillah Pak Gubernur sudah ketemu warga dan kelihatannya warga sudah setuju. Penlok (penetapan lokasi) sudah kami ajukan juga," kata dia.

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menyatakan, ia akan melakukan evaluasi penanganan banjir Jakarta. Anies juga mengatakan, pihaknya selalu melakukan pengontrolan kinerja pompa yang disebutnya ada 478 unit dan tersebar di lebih dari 140 lokasi. Anies akan memastikan pompa beroperasi selama 24 jam untuk bisa menguras air sejak banjir menerjang.

Ketika ditanyakan terkait ditemukannya pompa air yang rusak seperti di Teluk Gong dan Gunung Sahari, Anies menyebut bahwa itu bukanlah disebabkan pompa yang rusak. Namun, karena tidak adanya pasokan listrik lantaran PLN memutus aliran listrik demi keamanan warga.

"Jadi sebenarnya itu bukan pompa rusak, tapi ketika itu terendam oleh air, sehingga listriknya harus dimatikan. Karena listrik mati lalu didatangkan genset. Setelah kirim genset jalan lagi. Itu kondisinya di lapangan. Pompa itu dikerjakan oleh tujuh orang dengan yang stand by tiga orang agar bisa berfungsi 24 jam secara aman," kata Anies, Sabtu (4/1).

"Kalau pun ada temuan kerusakan, akan langsung diperbaiki. Kita temukan di lapangan. Dengan kerja nonstop lalu kemudian mengalami gangguan. Begitu mengalami gangguan langsung diperbaiki," kata Anies menambahkan.

Total kerugian yang timbul akibat banjir, kata Anies, belum bisa ditaksir. Karena, pihaknya sedang fokus untuk pengamanan korban dan rehabilitasi pemukiman. "Ini fokusnya pengamanan dulu, lalu rehabilitasi," ujar dia.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta pada Sabtu (4/1) pukul 18.00 WIB, masih ada 54 RW yang terendam banjir. Dengan perincian, Jakarta Utara tujuh RW, Jakarta Barat 36 RW, Jakarta Selatan delapan RW dan Jakarta Timur tiga RW dengan jumlah pengungsi masih tersisa 5.184 jiwa di 25 lokasi pengungsian.

Sedangkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, hingga Sabtu (4/1) pukul 10.00 WIB, sebanyak 53 orang meninggal akibat banjir DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Penyebabnya adalah mayoritas terbawa arus banjir yang deras.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement