Jumat 03 Jan 2020 10:25 WIB

Curah Hujan Ekstrem dan Ribut Solusi Banjir

Curah hujan pada 1 Januari 2020 tercatat paling ekstrem sejak 1866.

Petugas membersihkan endapan lumpur sisa banjir di perumahan Pengadegan, Jakarta, Kamis (2/1/2020). Banjir yang melanda permukiman warga di kawasan tersebut berangsur surut, dan warga mulai membersihkan rumah dari endapan lumpur sejak banjir menggenangi rumah.
Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Petugas membersihkan endapan lumpur sisa banjir di perumahan Pengadegan, Jakarta, Kamis (2/1/2020). Banjir yang melanda permukiman warga di kawasan tersebut berangsur surut, dan warga mulai membersihkan rumah dari endapan lumpur sejak banjir menggenangi rumah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Arif Satrio Nugroho dan Ali Yusuf

JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat salah satu penyebab banjir pada Rabu (1/1) hingga Kamis (2/1) adalah curah hujan ekstrem. Bahkan, curah hujan yang terjadi tercatat sebagai curah hujan paling ekstrem sepanjang sejarah pencatatan.

Baca Juga

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menerangkan, curah hujan ekstrem awal tahun 2020 ini merupakan salah satu kejadian hujan paling ekstrim selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya. "Curah Hujan ekstrem tertinggi selama ada pencatatan hujan sejak 1866," kata Herizal dalam keterangannya, Jumat (3/1).

Curah hujan ekstrem yang melebihi 150 mm/hari turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta. Akibatnya terjadi banjir besar seperti kejadian tahun 2015 dan 2007 lalu.

Berdasarkan pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun, antara 1866 sampai 2015, terdapat kesesuaian tren curah hujan. Yaitu antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi kemarin pada 1 Januari 2020.

Dalam data wilayah Jabodetabek selama 43 tahun terakhir, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 mm per sepuluh tahun. Analisis statistik ekstrem oleh Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang, terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir di Jakarta menunjukkan peningkatan 2-3 persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.

"Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini," ungkap Herizal.

Curah hujan ekstrem tertinggi juga terkonsentrasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma: 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari, Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari.

Menurut Herizal, sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas daripada kejadian banjir–banjir sebelumnya. Termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015.

"Curah hujan 377 mm/hari di Halim Perdana Kusuma merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda," kata Herizal.

Herizal mengulas analisis beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu. Misalnya yang terjadi pada tahun 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015. Menurutnya, banjir tersebut memang dapat dikaitkan dengan kejadian curah hujan ekstrem 1-2 hari dan fenomena meteorologis yang membentuknya.

Besaran dampak banjir yang ditimbulkan juga dapat dikaitkan dengan wilayah dimana curah hujan tinggi tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan ekstrem 1-2 hari sendiri dapat berkontribusi 30 persen dari total curah hujan pada bulan tersebut.

Analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 pagi hari menunjukkan curah hujan tinggi tidak biasanya tersebut dipengaruhi oleh pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara. ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.

Hujan sangat lebat berdurasi panjang mulai tanggal 31 Desember 2019 sore hingga 1 Januari 2020 pagi pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banjir cukup luas. Setidaknya 30 orang meninggal dan lebih dari 31.000 orang mengungsi dari 158 kelurahan yang terdampak.

Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat tercatat sebagai wilayah yang paling banyak kelurahan terdampaknya, yaitu sejumlah 65 dan 30 kelurahan.

Kendati demikian, Herizal menambahkan penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya masalah curah hujan ekstrem semata. Terdapat beberapa faktor lain seperti  besarnya limpasan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, permasalahan menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah, rendaman rob akibat permukaan laut pasang serta faktor penurunan tanah yang meningkatkan risiko genangan air, akan tetapi  curah hujan ekstrem paling dominan sebagai penyebab banjir di Jakarta.

"BMKG menghimbau agar semua pihak dan masyarakat tetap waspada terhadap peluang curah hujan tinggi yang masih mungkin mengingat puncak musim hujan diprakirakan akan terjadi pada bulan Februari hingga Maret," ujar Herizal.

Solusi Banjir

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menilai normalisasi sungai bukan menjadi satu-satunya jalan mencegah banjir. Pengendalian air di hulu bisa menjadi solusi mengurangi debit air masuk ke sungai-sungai di Jakarta.

"Di sini Kampung Pulo memang sudah dilakukan normalisasi dan faktanya masih tetap terjadi banjir," kata Anies di Kampung Pulo, Kamis (2/1) sore.

Menurut dia, dalam jangka panjang harus melihat penyelesaiannya secara lebih komprehensip. Terutama mengendalikan air di kawasan hulu dengan membangun dam, waduk dan embung.

"Sehingga ada kolam-kolam retensi untuk mengontrol, mengendalikan volume air yang bergerak ke arah hilir," katanya.

Menurut dia jika pengendalian air di hulu sudah baik dengan dibangunnya kolam-kolam retensi seperti dam, waduk dan embung, maka air yang mengalir ke Jakarta tidak menjadi bencana bagi Jakarta.

"Dengan cara seperti itu insya Allah itu semua bisa tapi itu kewenangannya di pemerintat pusat," katanya.

UntuK itu kata Anies, pemprov akan melihat sejauh mana pemerintah pusat mengendalikan air di hulu. Saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memilih fokus memastikan keselamatan warga yang terkena banjir.

"Fokus kita adalah memastikan keselamatan warga, memastikan bahwa pelayanan terjamin," katanya.

Anies memastikan, bagi semua warga yang terdampak akan menerima bantuan dari Pemprov. Dalam situasi seperti saat ini warga yang terdampak banjir lebih membutuhkan  bantuan makanan dan minuman dan kebutuhan lainnya daripada berdebat tentang normalisasi.

"Bagi semua warga yang terdampak kita akan bantu semaksimal mungkin," katanya.

Ketua DPRD DKI Jakarta Presetyo Edi Marsudi menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakara tidak siap mengatasi masalah hujan dengan intensitas tinggi. Sehingga membuat beberapa wilayah di DKI Jakarta terendam air yang membuat warga menderita kerugian.

"Artinya persiapan ini mereka tidak siap. Harusnya dengan adanya curah hujan mulai turun kita harus cek bareng semua (alat-alat) untuk kita perang di lapangan. Perang kita kan dengan air. Ini nggak mungkin kalau mereka nggak siap," katanya saat ditemui wartawan di ruangannya, Kamis (2/1).

Prasetyo mengatakan, banjir dan macet memang menjadi masalah yang mesti segera dicarikan solusi oleh Pemerintah Provinsi DKI. Normalisasi sungai menjadi salah satu solusi mengatasi masalah banjir di Jakarta.

"Pokoknya Jakarta harus dikasih solusi yang terbaik yaitu adalah normalisasi," katanya.

Menurut dia, fokus anggaran Pemprov DKI Jakarta yang telah disahkan DPRD untuk tahun 2020 untuk mengatasi dua permasalahan yang sangat kursial di Jakarta. Yakni banjir dan macet.

"Dua itu dulu deh, yang lain-lain nanti dulu. Jangan memperbesar kayak trotoar-trotoar tetapi saluran air di bawah benar apa nggak kita nggak tahu," katanya.

Secara teknis Prasetyo mengkritisi kebijakan Anies memperlebar trotoar. Alasannya di bawah aspal ada dak bak kontrol, sehingga ketika pedestarian itu diperlebar dak kontrolnya tertutup dan menyebabkan banjir.

"Akhirnya mereka bongkar. Nah hal-hal seperti ini kontrolnya di mana sebagai pengawas," katanya.

Menurut dia hal ini merupakan contoh kecil namun jika hal ini seperti (membuat pelebaran trotoar) terjadi di mana-mana akan menyebabkan banjir juga di mana-mana. Menurut dia, Pemprov harus porporsional dalam mengupayakan mempercantik tempat pejalan kaki.

"Kalau Sudirman Thamrin untuk pedestarian itu bagus, karena jalan besar. Akan tapi kalau yang urusannya Cikini dan Kemang coba sekarang lihat banjirnya parah," katanya.

Jadi saran dia, mau tidak mau normalisasi sungai di Jakarta harus dilakukan, jika ingin Jakarta tidak direndam air saat curah hujan tinggi. Menurut dia, masalah Gubernur DKI Jakarta pernah berjanji tidak akan menggusur warga apapun alasannya hal itu masalah lain.

Menurut dia, bagaimana Anies sebagai pemegang anggaran dan SKP dapat melakukan komunikasi kepada warga yang tempat tinggalnya tergusur untuk normalisasi sungai.

"Saya sudah ngomong dari awal fokusnya macet dan banjir. Ini sudah saya sampaikan Beberapa bulan yang lalu sebelum terjadi hujan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement