REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) mendukung langkah pemerintah untuk mencari cara mengendalikan konsumsi rokok, terutama bagi kelompok yang belum pantas mengkonsumsi rokok. Namun, menurut GAPRINDO, pemerintah perlu memformulasikan cara agar secara paralel juga tak membuat industri rokok gulung tikar.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Muhaimin Moeftie menjelaskan pemerintah perlu mencari solusi yang seimbang atas pengendalian konsumsi rokok di bawah umur namun tetap memperhitungkan nasib industri rokok.
"Kami menyadari bahwa produk tembakau merupakan produk yang memiliki resiko. Karena ini kami senantiasa berkoordinasi dan sepenuhnya menghormati upaya Pemerintah dalam mengendalikan konsumsinya. Namun selayaknya, dalam mencari solusi yang adil dan berimbang, Pemerintah turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT," ujar Moeftie, Senin (30/12).
Ia menjelaskan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, industri ini mengalami penurunan volume produksi. Saat ini hanya tersisa sekitar 700 pabrikan kecil, menengah dan besar di Indonesia, padahal di tahun 2007 lalu tercatat ada lebih dari 4.000an pabrikan.
Penurunan ini berdampak pula pada sektor tenaga kerja. Terhitung sejak 2014, lebih dari 90 ribu tenaga kerja pabrik tembakau telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Iklim usaha yang semakin tidak kondusif, dan hadirnya peraturan-peraturan yang kian eksesif dipercaya turut menekan industri ini lebih lanjut.
"Banyak sekali upaya strategis yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di bawah umur tanpa harus menekan keberlangsungan IHT, misalnya sosialisasi kepada pengecer/peritel; memasukkan materi bahaya merokok ke dalam kurikulum pendidikan. Dengan edukasi yang lebih terstruktur dan menarget banyak lapisan, tentu bisa membuat langkah pencegahan perokok anak semakin efektif, bukan lantas menghukum pelaku industri secara sepihak," ujar Moeftie.
Meski upaya atas pengendalian konsumsi produk tembakau semestinya menjadi tanggung jawab Pemerintah, namun para anggota GAPRINDO juga telah ikut berkontribusi mengkomunikasikan pelarangan akses rokok oleh anak dan remaja sesuai dengan PP No. 109 tahun 2012. Kedepannya GAPRINDO juga menyampaikan rencana untuk melanjutkan program sosialisasi kepada peritel di lapangan.
Tujuan dari program ini adalah agar para rekan pedagang tidak menjual produk rokok kepada anak dan remaja dibawah usia 18 tahun dengan alasan apapun. Dalam pelaksanaan program, GAPRINDO berharap Pemerintah dapat turut serta memberikan dukungannya agar sebarannya menjadi lebih luas dan berjalan efektif.
Lebih lanjut, GAPRINDO berharap hendaknya pemerintah mempertimbangkan untuk menghentikan proses revisi PP No.109 tahun 2012. GAPRINDO juga meminta Pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk membuka pintu diskusi dengan industri guna menghasilkan solusi yang tepat bagi seluruh pihak.
"Sebagai industri legal yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara, kami berharap Pemerintah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri yang menaungi 6 juta masyarakat Indonesia ini. Kekhawatiran kami, jika upaya pengendalian konsumsi ini tidak diputuskan dengan bijak dan akomodatif bagi seluruh pihak, hanya akan menimbulkan dampak lanjutan yang malah merugikan Pemerintah dan masyarakat sendiri," tambah Moefti.