REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar. Dalam dakwaannya, Emirsyah didakwa menerima suap Rp 46,3 miliar dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK Wawan Yunarwanto mengatakan, diduga suap terhadap Emirsyah terkait pengadaan proyek di PT Garuda Indonesia dari pihak Rolls-Royce Plc, Airbus, Avions de Transport Regional (ATR) melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo, dan Bombardier Kanada.
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok sejenis, menerima hadiah, menerima uang," kata Jaksa Wawan saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (30/12).
Wawan menjelaskan, perbuatan tersebut diduga terjadi dalam kurun waktu 2009 hingga 2014. Suap diberikan karena Emirsyah memilih pesawat dari tiga pabrikan dan mesin pesawat dari Rolls Royce untuk Garuda Indonesia.
Total Care Program (TCP) mesin Rolls Royce (RR) Trent 700, pengadaan pesawat Airbus A330-300/200, pengadaan pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pesawat Bombardier CRJ1.000, dan pengadaan pesawat ATR 72-600
Jaksa menduga, Emirsyah menerima suap mencapai Rp 46,3 miliar dengan mata uang berbeda. Adapun, rincian mata uang tersebut, yakni Rp 5.859.794.797, 884.200 dollar AS atau setara Rp 12.321.327.000, 1.020.975 Euro atau setara Rp 15.910.363.912 dan 1.189.208 dollar Singapura atau setara Rp 12.260.496.638.
"Perbuatan tindak pidana itu dilakukan bersama-sama Hadinata Soedigno dan Agus Wahjudo. Mereka telah mengintervensi pengadaan di PT Garuda Indonesia, yaitu pengadaan pesawat," jelas Jaksa Wawan.
Jaksa Wawan menyebut, Hadinata Soedigno dan Agus Wahjudo merupakan anak buah Emirsyah saat menjabat sebagai Direktur Utama pada 2009. Pada saat itu, Agus Wahjudo menjabat Executive Project Manager, sedangkan Hadinoto menjabat Direktur Teknik Executive Vice President Engineering.
Sementara terkait TPPU. Emirsyah didakwa bersama mantan Direktur Utama PT Mugi Reksa Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo. Emirsyah, lanjut Jaksa Wawan, melakukan perbuatan TPPU melalui tujuh cara. Pertama, mentransfer uang menggunakan rekening atas nama Woodlake International Limited ke rekening atas nama Mia Badilla Suhodo, untuk kemudian ditransfer ke rekening atas nama Sandrina Abubakar dan Eghadana Rasyid Satar.
Kemudian, Emirsyah disebut membayar hutang kredit di UOB Indonesia, membayarkan biaya renovasi rumah di daerah Kebayoran Lama, dan membayarkan pembelian apartemen di Melbourne Australia.
Dalam dakwaan, Emirsyah juga disebut telah menempatkan rumahnya di kawasan Grogol, untuk jaminan memperoleh kredit dari UOB Indonesia sebesar 840 dollar AS.
Emirsyah disebut telah menitipkan uang sebesar 1,458 juta dollar AS dalam rekening Woodlake International ke rekening milik Soetikno Sudarjo. Dan cara ketujuh, Emirsyah disebut telah mengalihkan kepemilikan satu unit apartemen di Singapura kepada Innospace Invesment Holding.
Menurut Jaksa, uang yang digunakan dalam tujuh kegiatan di atas merupakan uang suap yang diterima Emirsyah dalam pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. "Yang diketahui atau patut dapat diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yaitu terdakwa (Emirsyah Satar) mengetahui atau patut dapat menduga bahwa harta kekayaannya tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan terdakwa selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia," tutur Jaksa Wawan.
Atas perbuatannya, dalam kasus suap Emirsyah didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau 11 Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara terkait perbuatan TPPU, Emirsyah didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Usai mendengarkan dakwaannya, Emirsyah mengakui kekhilafannya. Namun, Emirsyah menegaskan, tidak semua yang didakwakan oleh Jaksa KPK adalah benar.
"Yang mulia, pada kesempatan ini saya mohon maaf karena persahabatan, saya melakukan perbuatan yang khilaf. Dan semua yang didalam surat dakwaan tidak semua benar, Saya mohon keadilan dari majelis hakim yang terhormat," tutur Emirsyah.
"Dan atas dasar ini juga saya tidak mengajukan eksepsi," tambah dia.