REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara mengungkap perusahaan pinjaman daring (online) ilegal yang beroperasi di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Sekitar 100 ribu orang telah menjadi korban penipuan daring tersebut.
"Kenapa ilegal? Karena tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas terhadap kegiatan-kegiatan keuangan," kata Kapolres Jakarta Utara Kombes Polisi Budhi Herdidi Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (23/12).
Perusahaan ilegal itu bernama PT VGA dan PT BR beralamat di Komplek Ruko Pluit Nomor 77-79, Jalan Pluit Indah Raya, Penjaringan, Jakarta Utara. Sejumlah karyawan perusahaan itu juga melakukan tindak pidana lain, yakni melakukan pengancaman, penyebaran fitnah melalui sarana elektronik hingga tindak pidana perlindungan konsumen.
Modus kasus pinjaman daring ilegal awalnya melalui tautan yang dikirim lewat pesan pendek secara acak. "Mereka mengirimkan SMS ke beberapa nomor secara acak, dengan pesan ajakan atau tawaran untuk meminjam uang secara daring tanpa adanya agunan dan sebagainya," kata
Selanjutnya, jika calon nasabah merasa tertarik, maka mereka akan mengunjungi atau mengklik tautan tersebut. "Saat diklik, maka akan masuk ke aplikasi mereka. Nasabah akan diminta mengisi data pribadi, nomor KTP hingga NPWP," ungkap Kapolres.
Perusahaan itu juga membuat syarat dan ketentuan atau perjanjian kerja sama yang sangat merugikan konsumen. Dalam perjanjiannya, konsumen membolehkan pihak perusahaan untuk mengambil data pribadi milik konsumen. Salah satunya daftar nomor telepon.
Data-data tersebut digunakan untuk melakukan tindakan manakala peminjam ternyata kemungkinan terlambat. Atau idak melakukan pembayaran pada saat mereka tentukan waktunya.
Perusahaan bahkan tidak segan mengancam nasabah hingga menghubungi orang-orang yang berada di kontak telepon nasabah.
Kombes Polisi Budhi mengungkap perusahaan pinjaman daring ilegal itu telah melayani ratusan ribu nasabah se-Indonesia. "Jumlah nasabahnya yang terdata untuk aplikasi cash-cash mencapai 17.560, sementara toko tunai mencapai 84.785," katanya.
Jumlah pinjaman diberikan dibatasi minimal Rp 500 ribu dan maksimal Rp 2,5 juta. "Bisa dibayangkan jika dirata-ratakan Rp 2 juta per nasabah dalam sebulan, berapa omzet mereka," ujar Kapolres.
Pinjaman daring ilegal itu tidak memberikan bunga di awal, tetapi adanya potongan administrasi di depan sebesar Rp 300 ribu. "Jika terlambat membayar, maka ada denda sebesar Rp 50 ribu per hari," ungkap Kapolres.
Saat ini kepolisian telah menetapkan lima tersangka, tiga warga negara China dan dua warga negara Indonesia. Tiga tersangka yang ditahan yakni Mr Li, DS dan AR. "Kami masih memburu dua warga negara China lainnya," tegas Budhi.
Mr Li seorang warga negara China sebagai pimpinan perusahaan, sementara DS dan AR merupakan warga negara Indonesia. DS bertindak sebagai "desk collector" atau penagih utang yang mengancam korbannya dengan penyebaran fitnah ke orang-orang terdekat korban
AR berperan sebagai supervisor dari perusahaan pinjaman daring yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu polisi juga mengamankan barang bukti puluhan prosesor komputer dan laptop hingga ratusan nomor telepon dari berbagai operator seluler.
Perusahaan tersebut mempekerjakan 76 karyawan. "Mereka sudah termasuk HRD, supervisor, hingga 'desk collector'-nya," kata Kapolres.
Kapolres menjelaskan para karyawan tersebut, selain mendapatkan gaji, juga mendapatkan bonus apabila mereka sukses mendapatkan data ataupun uang yang diambil dari nasabah.
Saat ini, status para karyawan itu sebagai saksi karena mereka bekerja berdasarkan perintah pimpinan. Namun pemeriksaan mendalam masih dilakukan terhadap para karyawan tersebut.
Perusahaan penyedia jasa pinjaman daring di Penjaringan, Jakarta Utara, mengenakan denda Rp 50 ribu per hari jika ada keterlambatan pembayaran. Polisi menetapkan perusahaan tersebut ilegal.
Rendahnya Literasi
Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Asosiasi Financial Technology (AFTECH) Sunu Widyatmoko menuturkan, rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia masih menjadi tantangan besar dalam penerapan financial technology (fintech). Dampaknya, tidak sedikit di antara mereka yang terkena penipuan oleh perusahaan fintech ilegal seperti pinjaman daring yang masuk melalui SMS.
Sunu menjelaskan, edukasi mengenai fintech masih harus terus digiatkan. Di antaranya, bagaimana cara membedakan antara perusahaan fintech yang legal dengan ilegal. "Masyarakat belum paham bahwa perusahaan legal adalah mereka yang sudah terdaftar di website OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Ini yang harus ditekankan saat edukasi," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat ini tidak hanya menjadi tugas dari AFTECH. Sunu berharap, ada keterlibatan dari pemangku kepentingan lain, terutama pemerintah. Sebab, saat ini, ATECH juga tengah menjalani kewajiban untuk melakukan sosialisasi terkait kode etik yang baru dirilis bulan lalu.
Kewajiban tersebut dikeluarkan oleh OJK sebagai lembaga yang menaungi dan mengawasi pelaksanaan fintech. Dalam kewajiban itu, AFTECH harus menjelaskan kepada pelaku dan beberapa masyarakat di enam kota di Pulau Jawa dan enam kota di luar Pulau Jawa. "Kami sedang mengejar menyelesaikan kewajiban ini dulu, baru nanti akan fokus edukasi ke pasar yang lebih luas," tutur Sunu.
OJK meminta masyarakat berhati-hati menggunakan pinjaman daring yang saat ini banyak ditawarkan. Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot meminta masyarakat harus memahami risikonya.
Sekar menegaskan pola pikir untuk tidak tergiur dengan kecepatan meminjam harus diimbangi dengan pertimbangan lain. Salah satunya terkait penghitugan risiko yang bisa didapatkan ketika melakukan pinjaman daring.
Dia menambahakan masyarakat juga harus lebih waspada jika akses ke pinjaman daring yang ilegal. "Ini pasti berujung dirugikan. Pahami perbedaan pinjaman daring ilegal dengan yang legal," tutur Sekar.
Sekar mengatakan sudah bisa dipastikan pinjaman daring ilegal tidak akan tunduk kepada aturan atau kaidah apapun. Dengan begitu, dia menegaskan pinjaman daring ilegal dipastikan memiliki risiko yang tinggi.
Meskipun begitu, Sekar memastikan keberadaan fintech dan pinjaman daring yang ilegal akan tetap menjadi perhatian bersama. Dia menuturkan penanganan dan pemberantasannya itu melalui Satgas Waspada Investasi (SWI) yang dimana OJK selaku koordinatornya.
Sepanjang 2018-2019, sedikitnya 1.230 entitas fintech Peer-To-Peer Lending, atau pemberian pinjaman berbasis teknologi informasi, tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK. Pinjaman tersebut berpotensi merugikan masyarakat sesuai POJK Nomor 77/POJK.01/2016.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI), Tongam L Tobing, menyebutkan pada 2018 tercatat 404 entitas fintech Peer-To-Peer Lending ilegal. Sementara pada 2019 sebanyak 826 entitas.
Infografis pinjaman daring ilegal.