REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (20/12) pekan lalu telah melantik lima pimpinan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango.
Firli Bahuri diketahui masih menjabat struktural di Polri sebagai Analisis Kebijakan Utama Badan Pemelihara Keamanan Polri. Kemudian Nawawi Pomolanggo juga masih menjabat sebagai hakim Pengadilan Tinggi Denpasar. Pada saat pelantikan, Nawawi mengaku telah mengajukan surat pengunduran diri ke Mahkamah Agung (MA).
Menanggapi hal tersebut, Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsudin Haris mengimbau agar para Pimpinan KPK yang masih rangkap jabatan untuk mengundurkan. "Ya sebaiknya tentu tidak (rangkap jabatan). Karena bagaimanapun itu kan soal kesadaran saja," kata Syamsudin di Gedung KPK Jakarta, Senin (23/12).
Meskipun, Haris mengakui, sebenarnya tidak ada aturan yang mengikat terkait hal tersebut. "Tidak hitam putih demikian, tidak ada juga dinyatakan sejauh yang saya baca tapi ini menyangkut kesadaran personal aja," tambah dia.
Diketahui dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 29 huruf i dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya, Kapolri, Idham Aziz menjelaskan, berdasarkan Pasal 29 UU nomor 30 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, seorang anggota Polri tidak harus mundur dari kesatuan, tetapi cukup melepaskan jabatan struktural di kepolisian.
Kabiro Humas MA, Abdullah pun mengatakan, rangkap jabatan juga tidak boleh dilakukan di lingkungan MA. Menurut Abdullah, Nawawi harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjabat di tempat lain.
"Semuanya sama. Semuanya harus mengikuti ketentuan undang-undang. Masalah kepatuhan undang-undang tak perlu diragukan mereka itu," katanya.