Kamis 19 Dec 2019 21:43 WIB

Omnibus Law yang Buat KPK Khawatir

KPK meminta pemerintah terbuka soal RUU Omnibus Law agar publik bisa ikut mengoreksi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif
Foto: Republika TV/Muhamad Rifani Wibisono
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Fauziah Mursid, Sapto Andika Candra, Arif Satrio Nugroho

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam konsep paket Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law. Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif mengharapkan, Omnibus Law yang digagas tak bermaksud untuk melindungi korporasi yang curang dan koruptif dari jeratan hukum.

Baca Juga

“Agar Omnibus Law ini, tidak menjadi alat untuk menghapuskan ancaman pidana bagi korporasi. Ini sangat penting bagi pemerintah. Supaya jangan sampai Omnibus Law ini tidak dijadikan alat untuk melindungi korporasi,” kata Laode di gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta, Kamis (19/12).

Karena itu, Laode pun meminta agar pemerintah, pun dewan mempublikasikan hasil dari riset dan naskah akademik terkait RUU Omnibus Law. Tujuannya, agar RUU Omnibus Law dapat dikoreksi oleh publik sebelum disahkan menjadi undang-undang.

Konsep Omnibus Law, adalah paket aturan hukum yang diusulkan pemerintah kepada DPR, agar membuat beleid yang memudahkan investasi untuk pembangunan perekonomian. Sejumlah Omnibus Law yang diusulkan, berupa pembuatan UU Cipta Lapangan Kerja, dan amandeman UU Perpajakan. Terkait dua undang-undang tersebut, memberikan keluasan dan kelonggaran hukum bagi pendirian korporasi. Bahkan, memberikan keringanan sampai penghapusan pidana bagi korporasi yang melakukan pelanggaran.

Terkait konsep pengurangan dan penghapusan hukuman bagi korporasi pelanggar hukum, Laode menilai, upaya itu akan menjadi kemorosotan kualitas hukum di Indonesia. Alasannya, perkembangan kejahatan korporasi sudah mengglobal.

Di negara-negara maju, kata Laode, penghapusan pidana bagi korporasi malah semakin gencar. Terutama penjeratan pidana bagi korporasi yang disangka terlibat dalam praktik korupsi, dan pidana lain seperti pencucian uang (TPPU).

Laode mencontohkan seperti di Eropa. Beberapa korporasi raksasa, terlibat dalam praktik pencucian uang, dan korupsi, dan manipulasi perpajakan yang tetap dikenakan pidana.

"Kan seharusnya tetap harus ada pemidanaan itu," ujar Laode.

Ia pun menyebut sejumlah konsorsium di Eropa, yang bertalian dengan pengungkapan kasus korupsi di Indonesia. Seperti kata dia, keterlibatan Roll-Royce dalam skandal pembelian mesin jet dan pesawat di PT Garuda Indonesia.

Menurut Laode, pengungkapan kasus Roll-Royce terjadi di Indonesia. Sedangkan perusahaan raksasa pembuat mesin jet dan pesawat terbang tersebut, juga ikut mendapatkan sanksi hukum di Amerika Serikat.

“Jadi saya pikir, pemerintah harus hati-hati dalam pembuatan Omnibus Law ini,” sambung dia.

Laode menyindir pemerintah, yang memilih menghapus hukuman pidana terhadap korporasi yang membangkangi hukum, dan lebih memilih membiarkan masyarakat menjadi korban kejahatan korporasi.

“Jadi jangan kita membuat hukum kita kembali seperti ke jaman kolonial. Kita sudah milenial, masa harus kembali lagi ke kolonial,” ujar dia.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menegaskan RUU Omnibus Law yang diusulkan Pemerintah tidak akan menghapus sanksi pidana bagi korporasi. Itu disampaikan Yasonna untuk menanggapi kecemasan KPK bahwa UU Omnibus Law menjadi alat berlindung pelaku korupsi dari korporasi.

"Enggak, enggak ada urusannya itu, mereka (KPK) belum baca saja kok. Belum baca saya kira. Kita saja belum (bahas) ini kok, jangan, enggak adalah," ujar Yasonna saat ditemui wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (19/12).

Menurut Yasonna, RUU Omnibus Law mengatur kemudahan dalam proses administrasi, mulai dari perizinan, hingga bisnis maupun investasi. Selain itu, Omnibus Law juga diharapkan menyelesaikan hambatan-hambatan dalam investasi.

"Enggak ada urusannya. Administrasinya saja, kejahatan-kejahatan, kesalahan-kesalahan administrasi yang selama ini ada dipidana itu bukan kejahatan korporasi yang dilarang," ujar Yasonna.

Ia juga mengatakan, dalam Omnibus Law akan ada paradigma yang diubah terkait sanksi yakni administrative law. Namun demikian, Yasonna memastikan itu tidak akan menghapus kejahatan dalam korporasi.

"Ya, kan kita mengharapkan izin-izin yg sifatnya misalnya tidak ada izin dipidana, kan bukan itu yang dimaksudkan. Jadi sanksi perdata. Denda. Bukan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi kan bukan di situ. Itu tindak pidana. Enggak ada urusannya tindak pidana dengan ini (pelanggaran administrasi)," kata dia.

[video] Apa Itu Omnibus Law?

Permintaan Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebelumnya menyampaikan, bahwa pemerintah pusat akan mengajukan revisi atas 83 Undang-Undang (UU) melalui skema Omnibus Law kepada DPR. Ada tiga sektor omnibus law yang akan diajukan pemerintah ke parlemen, yakni perpajakan, cipta lapangan kerja (investasi), dan UMKM.

Presiden pun meminta kepada parlemen untuk bisa diajak bekerja sama dalam menerbitkan Omnibus Law ini. Bahkan, Jokowi mengaku sudah meminta Ketua DPR Puan Maharani agar bisa segera merampungkan pembahasan terkait omnibus law ini.

"Bu puan, ini 82 UU, mohon segera diselesaikan. Saya bisik-bisik, kalau bisa Bu, jangan lebih dari tiga bulan," ujar Jokowi dalam Peresmian Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Senin (16/12).

Jokowi memandang, perubahan aturan perpajakan, kemudahan investasi, dan pengembangan UMKM dalam UU baru berwujud Omnibus Law sudah mendesak dilakukan. Alasannya, Indonesia harus berpacu dengan dinamika perekonomian global yang sudah menyeret sejumlah negara ke arah resesi. Indonesia, ujar Jokowi, harus sudah lebih dulu siap sebelum pengaruh ekonomi global merembet dan mempengaruhi perekonomian nasional.

"Kita dahului dengan ini (omnibus law), sehingga kita bisa cepat bergerak," ujar Jokowi.

Ketua DPR Puan Maharani menyatakan belum menerima surat presiden terkait dua RUU Omnibus Law yang diprioritaskan Presiden Jokowi. Dua RUU itu yaitu terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Perpajakan dan RUU Cipta Lapangan Kerja.

"Sampai masa sidang ini ditutup kami belum menerima surpres dari pemerintah atau dari presiden," kata Ketua DPR RI Puan Maharani usai memimpin Sidang Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Selasa (17/12).

Puan mengatakan, nantinya RUU tersebut baru akan dibahas oleh DPR RI setelah ada surat presiden yang masuk ke DPR RI. Pembahasan sendiri, kata dia, baru bisa dimulai pada pertengahan Januari 2020 mendatang. Pasalnya, DPR RI baru saja memasuki masa reses pada 18 Desember 2019 sampai 10 Januari 2020.

"Kalau kami kemudian belum menerima, tentu saja kami tidak bisa kemudian membahas atau melihat apa yang kemudian menjadi rencana dari pemerintah dari Omnibus Law yang nanti diusulkan," ujar dia.

photo
Hak Veto Menko

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement