REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menegaskan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law yang diusulkan pemerintah tidak akan menghapus sanksi pidana bagi korporasi. Itu disampaikan Yasonna untuk menanggapi kecemasan KPK bahwa UU Omnibus Law menjadi alat berlindung pelaku korupsi dari korporasi.
"Nggak, nggak ada urusannya itu, mereka (KPK) belum baca aja kok. Belum baca saya kira. Kita aja belum (bahas) ini kok, jangan, nggak adalah," ujar Yasonna saat ditemui wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (19/12).
Menurut Yasonna, UU Omnibus Law mengatur kemudahan dalam proses administrasi, mulai dari perizinan, hingga bisnis maupun investasi. Selain itu, Omnibus Law juga diharapkan menyelesaikan hambatan-hambatan dalam investasi.
"Administrasinya aja, kejahatan-kejahatan, kesalahan-kesalahan administrasi yang selama ini ada dipidana itu bukan kejahatan korporasi yang dilarang," ujar Yasonna.
Ia juga mengatakan, dalam Omnibus Law akan ada paradigma yang diubah terkait sanksi yakni administrative law. Kendati demikian, Yasonna memastikan itu tidak akan menghapus kejahatan dalam korporasi.
"Ya, kan kita mengharapkan ijin-ijin yg sifatnya misalnya tidak ada ijin dipidana, kan bukan itu yang dimaksudkan. Jadi sanksi perdata. Denda. Bukan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi kan bukan di situ. Itu tindak pidana. Nggak ada urusannya tindak pidana dengan ini (pelanggaran administrasi)," kata dia.