Rabu 18 Dec 2019 09:57 WIB

Jokowi Sebut Nama Calon Anggota Dewan Pengawas KPK

Albertina Ho, Artidjo, hingga Ruki disebut Jokowi masuk calon Dewan Pengawas KPK.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/Mabruroh/Febrianto Adi Saputro/ Red: Indira Rezkisari
Lima orang anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK rencananya akan dilantik bersama dengan lima orang komisioner KPK 2019-2023 pada 20 Desember 2019.
Foto: repubika
Lima orang anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK rencananya akan dilantik bersama dengan lima orang komisioner KPK 2019-2023 pada 20 Desember 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Presiden Joko Widodo menyebutkan sejumlah nama yang diusulkan sebagai calon anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Nama itu mulai dari Taufiequerachman Ruki hingga hakim Albertina Ho.

"Dewan Pengawas KPK ya nama-nama sudah masuk tapi belum difinalkan. Karena kan hanya lima, ada dari hakim, ada dari jaksa, ada dari mantan KPK, ada dari ekonom, ada dari akademisi, ada dari ahli pidana," kata Presiden Jokowi dalam diskusi dengan wartawan di Balikpapan, Rabu (18/12).

Baca Juga

Lima orang anggota Dewas KPK rencananya akan dilantik bersama dengan lima orang komisioner KPK 2019-2023 pada 20 Desember 2019. "Ada hakim Albertine Ho, itu tapi belum diputuskan loh ya, Pak Artidjo, saya ingat tapi lupa, dan belum diputuskan," tambah Presiden sambil menambahkan nama Ketua KPK jilid 1 Taufiequerachman Ruki juga diusulkan sebagai calon anggota Dewan Pengawas.

Presiden memastikan bahwa orang-orang yang terpilih sebagai Dewan Pengawas adalah orang-orang yang baik. "Saya kira itu namanya ya nanti ditunggu sehari saja kok. Yang jelas nama-namanya nama yang baik lah, saya memastikan nama yang baik," tegas Presiden.

Mengenai calon dari jaksa dan ekonom, Presiden belum mau menyebutkan nama-nama mereka. "Jaksa siapa ya, ada jaksa yang tidak aktif lagi (pensiun) kelihatannya. Kalau ekonom masuk biar seimbang, (anggota dewan pengawas) pasti baik-baiklah," tambah Presiden.

Presiden mengaku masih akan terus menyaring usulan nama-nama tersebut sampai Kamis (19/12). "Jumat (20/12) dilantik, Kamis kan sudah tahu, ini terus disaring," ungkap Presiden.

Presiden kembali menegaskan bahwa nama-nama tersebut belum final dan masih akan dibahas kembali.

Albertina Ho dikenal sebagai ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia dikenal gigih dan tegas dalam menyidangkan perkara. Saat ini Albertina Ho menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang.

Sedangkan Artidjo Alkostar adalah mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung. Ia mendapat banyak sorotan atas keputusan memperberat vonis terdakwa kasus korupsi, Artidjo sudah pensiun pada Maret 2018.

Semantara Taufiequrachman Ruki adalah Ketua KPK periode 2003-2007 dan pelaksana tugas ketua KPK 2015 yang merupakan lulusan terbaik Akademi kepolisian (Akpol) 1971.

Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menerima dan laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai dan lainnya. Dewan Pengawas juga menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan

Pasal 69A ayat (l) UU No 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK menyatakan, "Ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia."

Kehadiran Dewan Pengawas di bawah Presiden memang diatur sebagaimana dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D.

photo
Presiden Joko Widodo memastikan bahwa orang-orang yang terpilih sebagai Dewan Pengawas (Dewas) KPK adalah orang-orang yang baik.

Kritik Dewan Pengawas

Konsep adanya dewan pengawas bagi KPK namun tidak disetujui ICW. "ICW pada dasarnya menolak keseluruhan konsep dari Dewan Pengawas KPK,” tegas Kurnia Ramadhana, pekan lalu.

Ia menjelaskan, paling tidak ada tiga alasan ICW menolak keberadaan Dewan Pengawas KPK. Pertama, kata dia, secara teoritik KPK masuk dalam rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga Dewan Pengawas.

Karena, lanjut Kurnia, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan dan hal tersebut telah dilakukan oleh KPK. “Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang,” kata Kurnia.

Selain itu, sambungnya, dalam UU KPK yang lama telah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga, seperti BPK, DPR, dan Presiden. “Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?” ujarnya.

Kedua, menurut Kurnia, kewenangan Dewan Pengawas KPK sangat berlebihan. KPK harus meminta izin dewan pengawas untuk melakukan tindakan pro justicia.

“Bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan oleh KPK harus meminta izin dari Dewan Pengawas? Sementara disaat yang sama justru kewenangan Pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut oleh pembentuk UU,” jelas Kurnia.

Ketiga, Kurnia curiga kehadiran Dewan Pengawas justru dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang akan dilakukan KPK. Sebab, Dewan Pengawas dalam UU KPK yang baru ini, dipilih oleh Presiden.

“Jadi, siapapun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi Dewan Pengawas tidak akan merubah keadaan, karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin waktu berlakunya UU KPK baru, kelembagaan KPK sudah mati suri,” tegas Kurnia.

Pelemahan demi pelemahan yang dilakukan terhadap KPK, menurut Kurnia, makin menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR memang tidak menginginkan negeri ini terbebas dari korupsi. Keinginan Presiden dan DPR yang tetap bersikeukeuh membentuk kelembagaan tersebut sambungnya, justru semakin menunjukkan ketidakpahaman pembentuk UU dalam konteks penguatan lembaga anti korupsi.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman berharap sosok yang ditunjuk nanti dapat bekerja secara transparan dan akuntabel. "Terpenting adalah bahwa mereka bekerja secara transparan, akuntabel, dan tidak ada intervensi oleh presiden," ujar Benny lewat pesan singkat, Senin (16/12).

Ia menjelaskan, sesungguhnya Partai Demokrat menjadi pihak yang tak setuju dengan dibentuknya Dewas KPK. Pasalnya, hal tersebut dinilai sebagai KPK sedikit terhalang dalam pemberantasan korupsi.

Maka dari itu, ia meminta Jokowi dapat membuktikan bahwa keberadaan Dewas KPK tak memperlemah komisi anti-rasuah itu. Dan, justru memperkuat KPK seperti yang telah disebut-sebut sebelumnya.

"Jokowi harus menjamin Dewas KPK bekerja secara independen. Jokowi harus pastikan, meyakinkan publik bahwa anggota dewas bukan kepanjangan tangan kekuasaan," ujar Ketua DPP Partai Demokrat itu.

photo
Dewan Pengawas (Dewas) KPK diharap bekerja tanpa intervensi dari pemilik kekuasaan.

Pembahasan Partai

Pembahasan anggota Dewas disampaikan Sekjen PPP Arsul Sani tidak pernah dibicarakan ke partai-partai Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Ia pun menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden.

"Jangan dikit-dikit tanya ke parpol, presiden punya independensi," kata Arsul, di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (17/12).

Bahkan, menurut Arsul, presiden justru menerima masukan bukan dari kelompok partai, melainkan dari elemen-elemen masyarakat non-partai. Namun ia enggan menungkapkan elemen-elemen masyarakat non-partai yang dimaksud.

Selain itu, wakil ketua MPR itu mengaku belum mengetahui siapa saja yang bakal menjadi dewas KPK. Namun ia mengatakan, ada beberapa tokoh yang menurutnya patut dipertimbangkan oleh presiden.

"Misalnya, kalau PPP menyuarakan yang bisa dipertimbangkan itu contohnya kalau dari orang yang pernah ada di KPK ada, Pak Tumpak Hatorangan Panggabean, kemudian ada Prof Indriyanto Seno Adji, ada juga Mas Achmad Santosa," ucap Arsul.

Selain itu, sosok Gayus Lumbuun juga dianggap sosok yang patut dipertimbangkan oleh presiden untuk duduk di posisi dewas KPK. Ia menilai meskipun yang bersangkutan adalah  mantan politikus PDIP, namun Arsul menilai Gayus sudah cukup lama menjadi hakim agung.

"Kalau Pak Gayus kan sudah terputus karena dia sudah sekian tahun jadi hakim agung," tutur anggota komisi III DPR RI itu.

Ia menjelaskan, tentu perlu ada nama dari disiplin lain di jajaran dewas KPK nantinya, sehingga tidak semuanya berlatar belakang penegak hukum. Sementara itu wakil ketua MPR tersebut juga mengapresiasi sikap Yusril yang mengaku tak berminat dengan posisi dewas KPK. Arsul berharap agar sebaiknya dewas KPK tidak diisi oleh orang-orang dari kalangan politisi.

"Saran PPP seperti itu, jangan ada politisi yang masih aktif, kecuali tadi seperti Pak Gayus yang sudah terputus dan sekian tahun jadi hakim agung," ungkapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement