Selasa 17 Dec 2019 19:25 WIB

Bela NU-Muhammadiyah Soal Uighur, PKB: Tudingan Tendensius

PKB menilai tudingan media Barat tidak berdasar.

Ketua F-PKB Cucun Ahmad Syamsurijal.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua F-PKB Cucun Ahmad Syamsurijal.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengecam tudingan media Barat jika Cina telah merayu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), media massa, hingga akademisi Indonesia untuk diam terkait dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) komunitas muslim Uighur. 

PKB menilai tudingan tersebut tidak berdasar dan menyesatkan. “Kami menilai pernyataan media Barat terkait tudingan jika ormas, akademisi, hingga media massa bisa “dibeli” Cina agar diam terkait masalah muslim Uighur tendensius dan tidak berdasar,” ujar Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Cucun Ahmad Sjamsurijal di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/12).

Baca Juga

Dia menjelaskan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah membantah dengan tegas atas tudingan tersebut. Dalam pernyataannya PBNU menyatakan tidak bisa didikte siapapun terkait kasus dugaan pelanggaran HAM di Uighur.  

PBNU juga telah membantah jika ada aliran uang dari Cina terkait dengan persoalan tersebut. “Sikap tegas PBNU tersebut menunjukkan jika apa yang dinarasikan media Barat tidak benar dan penuh tendensi,” ujarnya. 

Cucun mengatakan narasi media Barat tersebut tidak terlepas dari kepentingan Amerika Serikat yang saat ini terlibat perang dagang dengan Cina. 

Bahkan saat ini House of Representatif United States atau DPR Amerika Serikat telah meloloskan UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019. 

Salah satu poin RUU tersebut adalah pemberlakuan sanksi kepada pejabat senior Cina terkait dugaan pelanggaran HAM kaum Muslim Uighur. “Kita tidak bisa melihat kasus ini secara parsial. Bahwa ada kepentingan Barat terkait isu Uighur itu jelas. Maka kita harus mengkaji secara komprehensif kasus Uighur sehingga bisa mengambil posisi yang tepat,” katanya.

Secara terpisah, pembelaan yang sama disampaikan anggota Komisi I DPR Willy Aditya membela Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terkait tudingan bahwa ormas Islam Indonesia itu diam dalam kasus diskriminasi terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, Cina oleh Wall Street Journal (WSJ).

Willy Aditya, di Jakarta, Selasa, berpendapat tudingan yang diarahkan kepada kedua ormas Islam itu bersifat politis. WSJ juga menuduh keduanya menerima uang lewat bantuan dan donasi yang digelontorkan pemerintah Cina.

Menurutnya, kedua ormas tersebut justru adalah representasi Muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia. Keduanya juga pernah melakukan observasi dan mengumpulkan langsung data dan fakta terkait masalah di Uighur. Mereka bahkan berhasil mendesak pembukaan akses kunjungan ke fasilitas yang disebut kem konsentrasi oleh media barat, yang selama ini tertutup.

"Kedua ormas terbesar itu justru menunjukkan kelasnya sebagai aktor menjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah Cina, Indonesia bisa mengajak Cina menemukan solusi-solusi damai," papar Willy.

Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya, menurutnya Indonesia harus mencari cara agar Tiongkok berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.

"Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di Cina ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang," tuturnya.

Dia  menambahkan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya. Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan Tiongkok juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.

"Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan Uighur terhadap pemerintahan Cina. Hal ini dihadapi oleh pemerintah Cina dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi," jelasnya

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement