Selasa 17 Dec 2019 14:35 WIB

Moderasi: Jalan Baru Atasi Radikalisme

Indonesia telah tumbuh memiliki bangunan kemoderatan Bhineka Tunggal Ika.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir. Pidato pengukuhan guru besar oleh Prof Haedar Nashir di Sportorium UMY, Yogyakarta, Kamis (12/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir. Pidato pengukuhan guru besar oleh Prof Haedar Nashir di Sportorium UMY, Yogyakarta, Kamis (12/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Cendekiawan, Haedar Nashir, dikukuhkan sebagai Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi diangkat sebagai pidato pengukuhan.

Pidato pengukuhan terdiri 84 halaman tapi tidak dibawakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu. Justru, Haedar membacakan isi buku karyanya yang berjudul serupa, Indonesia dan Keindonesiaan, Perspektif Sosiologi.

Haedar prihatin Indonesia beberapa tahun terakhir seakan berada dalam darurat radikal dan radikalisme. Bahkan, perhatian khususnya kepada radikalisme dan deradikalisme Islam melalui diksi-diksi waspada.

Baik kepada kaum jihadis, khilafah, wahabi, dan lain-lain. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga pendidikan usia dini terpapar radikalisme demikian kuat dan membuat kontroversi.

Tapi, menjadi masalah ketika objek-objek radikalisme cuma tertuju ke radikalisme di tubuh umat Islam. Apalagi, teror-teror nasional dan internasional yang menimpa Muslim tidak pernah dilabelkan radikalisme.

Teror masjid di Christchurh, Selandi Baru, yang menewaskan 49 orang, pembakaran masjid di Tolikara, penyerangan di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa, sampai pembunuhan 31 pekerja di Distrik Yigi-Nduga Papua.

Padahal, Menhan Ryamizard Ryacudu menyebut penyerangan di Papua itu bukan lagi kelompok kriminal tapi pemberontak. Senada, politisi PDIP, Andreas, menilai itu tindakan keji sebagai perlawanan terhadap NKRI.

Fakta lain menunjukkan ormas-ormas keagamaan yang melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan disebut radikal-ekstrim. Meski begitu, tindakan itu memang tidak benar karena mengambil otoritas kepolisian.

"Namun, kenapa tidak disebut radikal-ekstrim ketika ada ormas lainnya melakukan sweeping terhadap kegiatan-kegiatan pengajian yang tidak sejalan paham keagamaannya dan dibiarkan aparat," kata Haedar, di Sportorium UMY, Kamis (12/12).

Secara konseptualisasi, radikal sebenarnya netral dan berlaku umum. Dalam KBBI, kata radikal mengandung arti secara mendasar sampai kepada yang prinsip, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir.

Gerakan komunisme dunia, termasuk di Indonesia melalui PKI, terbilang sangat radikal, bahkan totaliter yang menghalalkan kekerasan. PKI pasca kemerdekaan telah melakukan pemberontakan yang radikal berkali-kali.

Radikalisme tidak linier, dalam sejumlah definisi ambigu berkorelasi ekstrimisme dan terorisme, meski tidak sama. Kaitannya sering bersifat sosiologis tergantung orientasi, termasuk ekstrimisme dan terorisme.

Sayangnya, tidak jarang label radikal itu menyatu dalam kecenderungan Islamophobia sebagaimana ditulis Derya (2018), Islamophobia ditemukan di dalam radikalisme. Kondisi itu mengundang tafsir publik berlebihan.

"Sehingga, menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme Islam yang kemudian menempatkan Muslim secara umum di bawah kategori yang dicurigai," ujar pria kelahiran 25 Februari 1958 di Desa Ciheulang, Ciparay, Bandung, Jawa Barat, tersebut.

Islam modern

Haedar menuturkan, Indonesia sebagai sebuah Tanah Air, bangsa, dan negara lahir dalam proses sejarah dan sosiologis yang panjang. Dinamikanya sarat karakter kuat bersuasana kehidupan yang moderat.

Kemudian, peran Islam modern sangat penting selain dalam menunjukkan nasionalisme dan kesadaran politik baru. In menentang penjajah dengan cara-cara modern memajukan umat dan bangsa pasca Indonesia merdeka.

Peran Islam modern dalam pembentukan NKRI pada 1945 sangat penting. Termasuk, konsensus perumusan dasar negara Pancasila, kompromi kelompok Islam nasionalis dan nasionalis dengan peran Ki Bagus Hadikusumo.

Haedar mengingatkan, ini pula jadi landasan lahirnya apa yang disebut Muhammadiyah sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah. Kemudian, Indonesia dengan keindonesiaan sebagai negara dan bangsa yang bersatu.

Disimpulkan, Indonesia dengan segala aspek keindonesiaan yang diikat dan dilandasi Pancasila sejatinya berkarakter moderat. Indonesia tidak boleh ditarik dan dibelokkan jadi radikal, esktrim, dan mengingkari kemoderatan.

Ia mengatakan, Indonesia telah tumbuh memiliki bangunan kemoderatan Bhineka Tunggal Ika. Artinya, kata Haedar, masyarakat Indonesia sudah memiliki modal sangat besar yang harusnya selalu bisa menjadi solusi.

Indonesia telah pula menyepakati Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Haedar menegaskan, Pancasila merupakan titik temu dari semua ideologi, paham, dan orientasi sekaligus menjadi titik tengah bangsa.

Untuk itu, ia melihat, modal bangsa ini perlu menjadi kekuatan mencapai Indonesia dan keindonesiaan yang moderat dengan cara yang moderat. Termasuk, ketika ingin menghadapi paham-paham radikal.

"Menghadapi radikalpun, kita lakukan dengan cara yang moderat, bukan dengan cara radikal," katanya.

Bagi Haedar, Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah radikalisme dalam lingkungan ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan. Agar, jalan ke depan sesuai landasan, jiwa, pikiran, dan cita-cita nasional.

Akhiri deradikalisasi

Itu sebagaimana telah diletakkan para pendiri negara yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Yang, lanjut Haedar, di dalamnya terkandung Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa yang berwatak moderat.

Jalan moderasi dipilih sebagai alternatif deradikalisasi menghadapi segala bentuk radikalisme secara moderat. Sebab, jika menghadapi radikal dengan deradikalisasi, itu sama saja memilih jalan radikal. "Saya menawarkan, mari kita akhiri deradikalisasi dan kita ganti dengan moderasi," ujar Haedar.

Haedar menerangkan, moderasi jadi solusi karena pertama radikal tidak bisa dilawan dengan radikal. Ini jadi penting karena kini agama dan tradisi malah telah dituduh sebagai tuan rumah ide ekstrimisme.

Lalu, moderasi Indonesia sesungguhnya merupakan kelanjutan dari akar masyarakat di kepulauan yang berwatak moderat. Serta, penting kembali ke posisi tengahan dan proporsional mengenai kehidupan kebangsaan.

"Sehingga, dapat diminimalisasi konflik dan kontroversi di tubuh bangsa dan negara Indonesia," kata Haedar.

Lebih lanjut, Haedar mengaku memang sudah berencana menyampaikan konsep moderasi itu ke pemerintah. Apalagi, dasar berpikirnya sudah dipegang dan ia meyakini konsep moderasi tidak akan menuai banyak penolakan.

"Karena memang ini khas Indonesia," ujar sosok yang lahir dari pasangan Haji Bahrudin dan Hajah Endah binti Tahim itu.

Ia mengambil contoh kenapa ada deradikalisasi dan stigma agama jadi sumber terorisme. Alasannya, tidak lain karena kita memakai tolak ukur yang sebenarnya tidak asli Indonesia tapi dipinjam dari Barat.

Selain itu, masyarakat kerap melihat situasi di Timur Tengah yang sedang mengalami masalah seperti itu. Bagi Haedar, justru tidak boleh itu dipindahkan masalahnya dari Timur Tengah ke Indonesia.

"Perang atas nama Islam, atau atas nama apapun, tidak boleh dipindah ke tempat yang damai, Indonesia daerah damai," kata Haedar.

Kemudian, pendekatan menghadapi yang keras di tempat yang gawat tidak boleh pula dipindah ke tempat yang damai seperti Indonesia. Sebab, jika dibawa ke tempat damai malah menjadi sama-sama radikal.

Ia menegaskan, orang yang punya paham dan kejadian di tempat lain, membawa semangat perang ke tempat damai itu radikal dan ekstrim. Bahkan, termasuk pula menjadi teror karena situasinya sedang damai.

"Sama, mencegah hal yang sama, di tempat darurat dengan cara darurat, itu justru tidak tepat, jadi soal ketidaktepatan," ujarnya.

Haedar mengingatkan, Indonesia sudah ratusan tahun membangun dan tumbuh menjadi bangsa yang moderat. Orang Indonesia disebut ramah, baik, gotong royong, itu semua tidak lain merupakan ciri kemoderatan.

Kemudian, ia menegaskan, Pancasila merupakan ideologi moderat. Haedar menekankan, jika dibandingkan semua ideologi-ideologi ekstrim yang ada di dunia, Pancasila merupakan ideologi tengah.

"Sudah cukup langkah-langkah deradikalisasi sebagai usaha awal, tapi kalau kita terus mempertahankan usaha itu malah kontraproduktif, maka saya tawarkan saatnya kita moderasi," kata Haedar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement