REPUBLIKA.CO.ID, KUALALUMPUR -- Para pakar lingkungan mendesak Indonesia, penghasil kelapa sawit terbesar dunia, untuk mengikuti jejak pesaingnya Malaysia. Malaysia mengizinkan peta perkebunan dan lahan kelapa sawit diumumkan kepada publik untuk membantu memerangi deforestasi dan kebakaran hutan.
Pengawas industri Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), menerbitkan peta lahan untuk Semenanjung Malaysia dan negara bagian Sarawak pada Kamis (12/12), setelah diberi izin untuk melakukan hal tersebut oleh pemerintah Malaysia.
"Ini langkah maju yang bagus untuk transparansi dan akuntabilitas," kata Darrel Webber, Kepala Eksekutif RSPO yang berbasis di Kuala Lumpur, Jumat (13/12).
"Kami berharap langkah ini akan membawa objektivitas yang lebih besar dalam diskusi tentang kebakaran lahan dan topik lain yang kadang-kadang dikaitkan dengan sektor minyak kelapa sawit," dia melanjutkan.
Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia, dan ditemukan dalam segala hal mulai dari margarin hingga biskuit, dari sabun hingga sup. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, industri ini telah mendapat sorotan dari aktivis dan konsumen, yang menyalahkan industri minyak kelapa sawit atas hilangnya hutan dan kebakaran lahan, serta eksploitasi pekerja.
Indonesia dan Malaysia, yang memproduksi sekitar 85 persen dari minyak kelapa sawit dunia, telah lama didesak oleh kelompok hijau untuk mempublikasikan peta di mana perusahaan telah diberikan lahan untuk perkebunan kelapa sawit untuk memungkinkan pihak ketiga lebih memantau hutan dan janji deforestasi yang dilakukan oleh petani.
"Ini perubahan sejati," kata Denise Westerhout, spesialis pasar di WWF International, kepada Thomson Reuters Foundation.
"Hanya peta untuk Sabah yang tersedia untuk umum di Malaysia, jadi senang melihat peta untuk Sarawak dan semenanjung juga diberi lampu hijau," tutur dia.
Langkah Malaysia akan meningkatkan kepercayaan, membuatnya lebih mudah untuk memantau kebakaran hutan dan deforestasi. Ini juga membantu mengidentifikasi perusahaan dan rantai pasokan yang bekerja di daerah yang melanggar komitmen industri untuk mengekang deforestasi.
Para pencinta lingkungan mencatat bahwa RSPO, yang meliputi produsen, pedagang, pembeli, dan kelompok hijau di sekitar 90 negara, telah berusaha membuat peta konsesi anggotanya tersedia untuk publik sejak 2013. Mahkamah Agung Indonesia telah memutuskan bahwa Jakarta harus mempublikasikan konsesi kelapa sawitnya, tetapi sampai saat ini pemerintah masih menolak.
"Mahkamah Agung memutuskan pada 2017 bahwa data konsesi perkebunan kelapa sawit adalah informasi publik," kata Annisa Rahmawati, seorang juru kampanye hutan di Greenpeace Indonesia.
"RSPO harus maju dan segera menerbitkan satu set peta perkebunan kelapa sawit Indonesia secara lengkap," ujar dia.
Andika Putraditama, manajer komoditas dan bisnis berkelanjutan di World Resources Institute Indonesia, memuji perkembangan positif dan sinyal kuat dari pemerintah Malaysia. Batas-batas konsesi dan lokasi pabrik---serta data terbuka lainnya---sangat penting untuk mengukur kinerja perusahaan dalam menghindari deforestasi dalam rantai pasokan mereka, tambahnya.
"Pemerintah harus mendorong petani kelapa sawit, pedagang, dan pembeli untuk lebih transparan mengenai operasi mereka," katanya.
"Sinyal kuat dari pemerintah bahwa transparansi diperlukan akan sangat membantu mempercepat transformasi industri kelapa sawit menjadi lebih berkelanjutan," kata Andika.