Kamis 12 Dec 2019 14:17 WIB

Harley di Indonesia: Bandung, Harga Gelap dan Ari Ashkara

Di Indonesia diprediksi ada enam ribu individu yang memiliki Harley-Davidson.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) menggelar konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12).
Foto: Antara
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (kanan) menggelar konferensi pers terkait penyelundupan motor Harlery Davidson menggunakan pesawat baru milik Garuda Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho

JAKARTA -- Motor Harley-Davidson menuai sorotan publik saat menjadi bagian dalam skandal penyelundupan yang dilakukan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara. Ia menyelundupkan sebuah motor Harley-Davidson klasik tahun 70 bermesin Shovelhead beserta suku cadangnya.

Baca Juga

Selama ini, mendengar kata Harley-Davidson sudah langsung muncul beberapa stigma. Mahal adalah salah satunya.

Namun, di Indonesia, ternyata tak sedikit pula yang memiliki motor gede tersebut. Lantas bagaimana motor Harley bisa menjadi salah satu bagian dalam skenario otomotif di Indonesia?

Berdasarkan sejarah pembentukannya, menurut Darwin Holmstrorm dalam 'Harley-Davidson: The Complete History', motor pabrikan Amerika Serikat ini memang menargetkan pasarnya di kalangan pembeli kelas atas yang mewakili kesuksesan dan status sosial yang tinggi.

Motor ini dibuat William S. Harley dan William A. Davidson di Milwaukee Wisconsin Amerika Serikat pada tahun 1903. Pada tahun 1905, untuk pertama kalinya mereka memiliki dealer Harley-Davidson yang pertama di Chicago. Saat itu, bentuk motor masih seperti sepeda yang dilengkapi mesin.

Setelah itu jumlah produksi terus ditingkatkan, sehingga perusahaan Harley-Davidson didirikan pada September 1907. Perusahaan menjual kendaraan tersebut ke kepolisian sekitar, meningkatkan kepopuleran merek sepeda motor tersebut.

Tahun demi tahun, Harley-Davidson makin dikenal. Pada Perang Dunia I, militer AS memesan 15 ribu Harley. Dari segi industri, bahkan Harley pernah menjadi menjadi produsen sepeda motor terbesar di dunia di tahun 1920an. Sebanyak lebih dari 28.000 sepeda motor dijual di 67 negara pada tahun tersebut.

Usai perang dunia I, penjualan Harley-Davidson justru anjlok. Pada tahun 1929 hingga 1933 penjualan Harley turun dari 21.000 menjadi 3.703. Uniknya, Harley-Davidson seolah 'diselamatkan' oleh Perang Dunia II dan berhasil memproduksi 90 ribu motor untuk Sekutu.

Motor tersebut pun semakin dikenal luas. Harley kerap digunakan dalam film-film Hollywood, yang membuatnya diasosiasikan dengan geng pengendara sepeda motor Hells. Kesan gahar Harley-Davidson pun melekat hingga saat ini. Perusahaan terus berkembang dan berhasil menjual berbagai seri karya mereka di belahan dunia.

Harley-Davidson Bandung-Pangandaran

Popularitas Harley-Davidson di Indonesia juga tak bisa dibilang rendah. Bahkan, ribuan orang Indonesia memiliki motor yang harganya kerap mencapai ratusan juta rupiah tersebut.

Harley-Davidson Club Indonesia (HDCI) dan Harley-Davidson Owner Group (HOG) menjadi bagian besar dalam dunia otomotif, khususnya terkait motor gede di Indonesia.

Humas Pengurus Pusat HDCI Ferdo Raturandang memprediksi, pemilik Harley-Davidson di Indonesia saat ini sudah lebih dari 6 ribu unit. "Yang gabung HDCI 3 ribuan, belum yang di luar komunitas, mungkin 6 ribuan," ujar Ferdo.

Setelah Indonesia merdeka, Harley-Davidson menjadi barang yang eksklusif dan langka. Pada saat itu rata-rata cuma kalangan militer yang mampu memilikinya.

Hingga seiring berjalannya waktu, warga Indonesia mulai mengetahui popularitas Harley Davidson yang muncul di berbagai media. Motor pabrikan AS itu pun mulai diminati oleh warga Indonesia sipil, tentunya yang berduit lebih.

Provinsi Jawa Barat, khususnya Bandung Raya disebut memiliki titik sejarah tersendiri. Motor Harley-Davidson disebut sangat populer di Bandung Raya pada tahun 1960. Saat itu, para pemotor Harley-Davidson membentuk sebuah komunitas, Harley Club Bandung (HCB). HCB inilah yang kata Ferdo jadi cikal bakal HDCI.

Mereka kerap mengadakan touring dari Bandung ke Pangandaran dengan motor Harley bekas peninggalan kolonial. Tahun 1973, touring bertajuk Wing Day digelar. Motor Harley-Davidson dipasang 'wing' atau bagian sayap dalam melakoni tur tersebut. Semenjak saat itu agenda Wing Day terus diadakan dengan jangka waktu lima tahun sekali.

Pengurus Daerah HDCI Joni Nugroho bahkan menyebut, berkendara dari Bandung ke Pangandaran dengan Harley-Davidson ibarat 'naik haji'. Saat ini, Pangandaran dijadikan tempat sakral oleh para anggota HDCI lantaran sejarah tersebut. Pada April 2020 nanti, HDCI juga akan melanjutkan tradisi tersebut.

photo
Presiden Indonesia Suharto (kiri) mengendarai Harley Davidson dengan wakil presiden wakil presiden Jusuf Habibie di depan Istana Negara di Jakarta pada 1 September 1996.

Harga Gelap Si Klasik

Motor Harley-Davidson Shovelhead 70 selundupan Ari Askhara sendiri menuai berbagai terkaan. Bahkan, Kementerian Keuangan tak bisa memprediksi secara rinci berapa harga motor tersebut dengan memberi rentang harga Rp 200 juta hingga 800 juta.

Ferdo mengatakan, harga motor Harley-Davidson model klasik memang sulit ditaksir. "Kalau mau dibilang mahal atau tidak, memang kebanyakan harga gelap," ujar Ferdo saat berbincang dengan Republika.co.id.

Ia menyebutkan, sejumlah mesin Harley-Davidson klasik seperti UA, WL, WLA, serta beberapa tipe klasik lainnya sulit dijumpai di pasaran. Kalaupun ada, maka pasti langsung terjual.

"Jadi kalau ada yang punya nih, dipaksa-paksa supaya dijual. Pokoknya harganya berapa, kalau memang ada yang jual 'tembak' saja. Gue bilang itu harga gelap lah kalau yang klasik," ujarnya.

Kendati demikian, kata Ferdo, klasik tak selalu jadi favorit. Menurut dia setiap pengendara Harley-Davidson punya preferensi masing-masing.

Ia mencontohkan, pecinta touring misalnya akan memilih Elektra Glide. Para kolektor akan memilih klasik. Menurutnya, tak ada favoritisme tertentu secara luas di kalangan penunggang Harley.

"Ketika usia sudah di usia 55 mulai cari yang agak enteng. Jadi gue lebih bisa menguasai lebih oke karena lebih ringan. Kalau anak muda kan suka yang macho."

"Jadi kalau ditanya ada tipe yang seperti apa sesuai preferensi masing-masing, itu beda beda. Ada juga yang senang klasik, karena sejak dia waktu umur masih SMA dia sudah punya Harley," ujarnya menambahkan.

HDCI pun menyayangkan kasus yang melilit Ari Askhara. Ia mengaku tak mengenal dan tak pernah bertemu dengan Ari Askhara dalam setiap aktivitas Harley-Davidson.

Ferdo sendiri mengaku bingung dengan motivasi Ari Askhara menyelundupkan Harley bermesin Shovelhead 70. Ia menegaskan, sekalipun harga Harley Davidson klasik 'gelap', ia menegaskan, pemilik Harley harus legal dan taat pajak.

"Kalau aku bilang gelap bukan berarti tidak bersurat ya. Sebagai member HDCI itu, kami semuanya legal, AD/ART kita harus legal. Kita juga harus taat pajak," ujar dia.

photo
Anggota Komunitas Motor Harley Davidson berkonvoi melintas di kawasan Parkir Timur Senayan, Jakarta, Ahad (11/9).

Upaya Mengubah Kesan

Skandal Ari Askhara memang menjadi perhatian publik. Namun, Ferdo mengatakan, kasus itu tak berpengaruh pada komunitas Harley.

Ia mengatakan, justru saat ini komunitas pengguna Harley-Davidson berupaya agar komunitas itu bermakna bagi Indonesia. HDCI misalnya, yang pada November 2019 lalu mengadakan Rakernas di Bandung menekankan agar keberadaan HDCI tak menjadi sekadar kelompok hobi. Bahkan, HDCI ingin agar komunitasnya dikenal dunia.

"Kita ingin bermakna sebagai masyarakat Indonesia. Kita tahu HD sudah legendaris dan mendunia, tapi apa kelebihan kita Indonesia," ujarnya.

Ferdo mengakui, kerap kali muncul stigma arogan dari orang yang melihat pemilik Harley-Davidson. Bahkan, ada pula anggapan hobi Harley Davidson sekadar 'bakar uang'.

Ia mengakui harga Harley-Davidson memang tak murah. Pemiliknya kerap kali merupakan bos perusahaan, atau orang yang berpenghasilan tinggi.

Kadang pejabat tinggi pun memakainya, sebut saja Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan. "Harley itu ya harganya mahal banget memang, untuk velgnya saja bisa satu motor Jepang," ujarnya.

Namun, terlepas dari harganya yang mahal, adanya komunitas Harley-Davidson, kata Ferdo, justru menjadi wadah para pecinta motor gede tersebut beraktivitas sosial. HDCI kerap kali berperan dalam pembangunan masjid, tempat ibadah, panti sosial serta aktivitas sosial lainnya.

"Justru dalam HDCI membentuk karakter para riders, saat berlalu lintas,  berjiwa sosial, kemudian kita harus benar-benar bersaudara satu sama lain. Itu mungkin yang agak beda dengan komunitas lain, bukan sekadar hobi," katanya.

Ferdo mengakui, beberapa kali ada oknum arogan yang menggunakan Harley muncul di jalan raya. HDCI yang dipimpin oleh eks Wakapolri Komjen Purn Nanan Soekarna itu pun mengecam oknum-oknum tersebut.

"Yang perlu diingat, kita bukan gangster," ujar dia menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement