Rabu 11 Dec 2019 19:18 WIB
Liputan Khusus Sepeda

Manuver Bersepeda di Ibu Kota

Jalur sepeda tidak otomatis menjadikan bersepeda di Ibu Kota nyaman.

Pengendara sepeda melintasi jalur sepeda di Jalan Pemuda, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Kamis (19/9/2019).
Foto: ANTARA
Pengendara sepeda melintasi jalur sepeda di Jalan Pemuda, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Kamis (19/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Satrio Nugroho

JAKARTA -- Akhmad Syarifuddin mengayuh sepedanya dengan santai di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (9/12) pagi menjelang siang. Berangkat dari rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, pria yang sering disapa Udin ini menyusuri jalur sepeda yang baru diresmikan pada Oktober lalu.

Baca Juga

Udin bersepeda menuju Blok M. Ia akan mencari nafkah dengan berdagang minuman saset keliling di kawasan Taman Ayodya dan sekitarnya.

Sudah sekitar lima tahun dia melakoni profesi yang kerap disebut sebagai penjaja Starbucks Keliling alias Starling. Selama itu pula, bersepeda melewati ruas Jalan Fatmawati hingga Blok M menjadi rutinitas hariannya. Ia bersepeda untuk menyambung hidup.

Sepedanya tampak sudah berkarat di banyak titik. Mereknya pun sudah tak terlihat. Namun, keadaan sepedanya itu tak membuat pria 29 tahun ini sulit bermanuver menghindari tutup gorong-gorong yang menonjol, ataupun lubang yang ada di jalur sepeda tersebut.

Belum lagi, tak sedikit mobil parkir yang mencaplok jakur sepeda. Kadangkala, klakson kendaraan bermotor mengagetkannya saat zig-zag sepedanya melebar ke tengah ruas jalan.

Pembatas jalur sepeda berupa cone berwarna oranye hanya terdapat di sejumlah titik, misalnya di jalan bawah Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT). Ketika melewati jalur dengan pengaman itu, Udin punya kesempatan mengebut sepeda usangnya. Itupun bila jalurnya tak diserobot pemotor.

Di sejumlah titik kemacetan, Udin juga harus berbagi dengan kendaraan bermotor lainnya. Jalur sepeda yang dibatasi cat garis putih itu tak bisa menghindarkan pesepeda dari macetnya sejumlah titik persimpangan jalan antara Fatmawati Blok M. "Sama saja, tidak ada bedanya," kata Udin soal keberadaan jalur sepeda.

Di tempat lain, Selasa (10/12) pagi-pagi Bimo Aji Pamungsu juga sudah menggowes sepeda lipat Brompton miliknya. Ia bertolak dari rumahnya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat menuju ke Gelora Bung Karno, Senayan. Pegawai swasta itu hendak bertemu dengan rekan-rekan pesepeda untuk kopi darat dan berbagi cerita. Setelah itu, ia melanjutkan berangkat ke kantor di kawasan Jakarta Pusat.

Bersepeda berangkat dan pulang kantor sudah setahun belakangan dilakoninya. Ia juga rutin berkumpul bersama rekan perkumpulan pemakai sepeda lipat yang dinamai Sepedalipatku, sebelum dan sesudah pulang kantor. Kesehatan dan menambah pertemanan jadi alasan Bimo memilih gaya hidup bersepeda.

"Awalnya saya beli sepeda motivasinya olahraga. Apalagi, sebelumnya saya tidak terlalu rutin untuk olah raga. Tapi akhirnya saya memaksakan diri untuk bike to work," ujar Bimo.

Di sejumlah jalur sepeda yang dilewati, Bimo juga mengaku harus berbagi dengan kendaraan bermotor lainnya. Jalur sepeda di sejumlah ruas jalan di Jakarta Pusat kerap ditandai cat hijau. Namun, Bimo menilai, adanya penanda itu tak serta merta membuat pesepeda aman dari senggolan kendaraan bermotor. Tak jarang, jalur sepeda justru melewati pintu gorong-gorong.

"Sudah ada jalurnya ditandai hijau, cuma memang malah di jalur sepeda ada gorong-gorong atau galian. Kita harus menghindar juga di situ dan, kita akhirnya masuk ke jalur motor juga," ujarnya.

Di malam hari, isu keamanan juga membayangi pesepeda. Jika terlalu larut, kata Bimo, pesepeda yang pulang kantor sebaiknya tak nekat mengayuh sepedanya sendiri. Adanya kasus begal yang menimpa pesepeda membuat dirinya dan rekan-rekan pesepeda lainnya cukup khawatir.

Motivasi bersepeda Udin dan Bimo memang berbeda. Namun keduanya bersepeda di kota yang sama dan mengalami pengalaman serupa, ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Animo bersepeda warga Ibu Kota yang meningkat, tampaknya kurang dibarengi dengan pembangunan fasilitas bersepeda yang layak.

photo
Seorang pesepeda melintasi jalur sepeda diantara para pengendara motor di Jalan RS Fatmawati Raya, Cilandak, Jakarta, Kamis (21/11).

Sejarah Pengendara Sepeda

Menilik sejarah, pengalaman tak menyenangkan yang dialami pengendara sepeda sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Ahmad Arif dalam buku 'Melihat Indonesia dari Sepeda' (2010) mengulas, pada era kolonial, sepeda sempat menjadi kendaraan kelas dua. Pemerintah Kolonial Belanda menyediakan jalur sepeda di Jakarta, misalnya di Jalan Matraman Raya.

Pengendara sepeda tak diperbolehkan melebar dari ruas jalur sepeda yang disediakan tersebut. Namun, jalur sepeda itu teramat sempit dan penuh lubang. Sehingga pengendara sepeda seringkali melewati jalur kendaraan bermotor. Tilang dari polisi pun tak terhindarkan.

Perlakuan tak menyenangkan itu pun mendapat perlawanan. Harian Kolonial bernama Het Dagblad menuliskan kritik, wajar bila sepeda memilih jalur kendaraan bermotor karena aspalnya lebih licin daripada jalur sepeda yang penuh lubang. Tajuk rencana koran itu disambut pemerintah kolonial dengan memperbaiki jalur sepeda tersebut beberapa hari kemudian.

Ratusan tahun kemudian, mimpi kenyamanan bersepeda di Jalanan Jakarta masih berusaha dibangun. Pada 2004, Toto Sugito menggagas gerakan bersepeda untuk bekerja atau yang lebih dikenal dengan nama Bike to Work, atau Bike2Work di Jakarta. Lima tahun kemudian, komunitas itu bahkan mendorong Dinas Perhubungan DKI Jakarta agar menciptakan rencana besar pembangunan jalur sepeda di Ibu Kota.

Namun, tampaknya mimpi Toto Sugito yang lebih dari satu dekade lalu menggagas gerakan bersepeda itu belum juga disambut dengan fasilitas yang memadai oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. "Pembuatan fasilitas sepeda terkesan terburu buru, dan seperti sekadar memenuhi target. Kalau ditanya masterplan-nya, saya tidak yakin ada," ujar Toto.

Jalur sepeda yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dinilai Toto lebih pantas dinamai Bike Sharing. Menurut dia, jalur model ini bahkan lebih berisiko membuat pesepeda serempetan dengan kendaraan lain.

"Contoh di Fatmawati amat sangat tidak layak. Apalagi banyak lubang gorong, permukaan jalan di sisi samping yang tidak rata. Itu terkesan memang terburu-buru," ujarnya.

Toto mengakui, infrastuktur bersepeda tak bisa dibangun dalam sekejap mata. Namun, ia menilai, Pemprov bisa mengondisikan setidaknya agar rasa aman pesepeda lebih terjamin. Ia mencontohkan, jalur sepeda yang dibagikan dengan ruas jalan kendaraan bermotor seharusnya tak terlalu sempit dan berjarak lebar.

"Kalau mau mengondisikan, bagus, misalnya mengurangi jalur atau lajur kendaraan bermotor dari dua menjadi satu. Dari empat menjadi dua, bukan dari dua menjadi satu setengah seperti saat ini, itu bahaya," ujar peraih penghargaan Tokoh Perubahan Republika 2009 ini.

Fasilitas penunjang yang tak kalah penting, kata Toto, adalah parkir sepeda. Menurut dia, Pemprov seharusnya bisa membuat tempat parkir yang aman bagi sepeda di tempat pemberhentian kendaraan umum, misalnya stasiun maupun halte.

Sehingga, sepeda bisa diintegrasikan dengan kendaraan pengangkut masal, seperti yang selama ini dikampanyekan pemerintah. "Jadi tidak usah bikin jalur sepeda panjang-panjang kalau tidak terintegrasi dengan transportasi masal, buat apa," ucapnya.

photo
Pengendara sepeda melintasi jalur sepeda di Jalan Pemuda, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Kamis (19/9/2019).

Jalur Sepeda DKI

Pemprov DKI Jakarta meresmikan jalur sepeda pada 12 Oktober 2019, yang diujicobakan dalam tiga fase. Fase 1 meliputi Jalan Medan Merdeka Selatan, MH Thamrin, Imam Bonjol, Diponegoro, Proklamasi, Pramuka, dan Pemuda. Fase 2 meliputi Jalan Sudirman, Sisingamangaraja, Panglima Polim, dan Fatmawati. Adapun Fase 3 meliputi Jalan Tomang Raya, Cideng Timur, Kebon Sirih, Matraman Raya, serta Jatinegara Barat dan Timur.

Pemprov DKI Jakarta mengklaim berupaya maksimal dalam mewujudkan kenyamanan bagi para pengendara sepeda. Salah satu yang dilakukannya yakni melalui penindakan bagi pihak-pihak yang melanggar jalur sepeda. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, Dishub akan bekerja sama dengan kepolisian. "Ada dua pola penindakan," kata Syafrin.

Pola pertama, menurut Syafrin, penindakan dilakukan secara langsung oleh Kepolisian. Polisi akan bertindak apabila ada pelanggaran, misalnya melintas di jalur sepeda atau parkir di jalur sepeda.

Sedangkan pola kedua akan melibatkan Tim Lintas Jaya dengan tiga unsur, di antaranya petugas Dishub dan Kepolisian secara bersama-sama melakukan patroli. "Jadi tidak ada penempatan personel khusus, tapi penanganannya secara terpadu," kata dia.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Yusuf menegaskan, para pelanggar akan dijerat Pasal 284 tentang Hak Utama Pejalan Kaki dan Pasal 287 Ayat 1 tentang Pelanggaran Rambu atau Marka Jalan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Hukuman para pelanggar berupa denda maksimal sebesar Rp 500.000 atau pidana pinjara maksimal 2 bulan.

"Jadi ada ditegur dulu itu sanksi juga, kalau sudah berulang akan kita laksanakan tindakan," ujar Yusuf.

Pembangunan sepeda di Jakarta sendiri diprediksi akan berlanjut. Dalam Kebijakan Umum APBD Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2020, terdapat anggaran pembangunan jalur sepeda sebesar Rp 62 miliar. Besarnya anggaran ini disebut sebagai salah satu langkah Pemprov DKI Jakarta menjadikan sepeda bagian integral dari sistem transportasi kota.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement