Rabu 11 Dec 2019 18:12 WIB
Liputan Khusus Sepeda

Sepeda di Indonesia, Antara Phoenix dan Brompton

Di era sebelum kemerdekaan, sepeda menjadi simbol pembeda kelas di Indonesia.

Turis menaiki sepeda onthel saat mengunjungi kawasan wisata Kota Tua, Jakarta. Di Indonesia sepeda dulu pernah menjadi simbol status sosial.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Turis menaiki sepeda onthel saat mengunjungi kawasan wisata Kota Tua, Jakarta. Di Indonesia sepeda dulu pernah menjadi simbol status sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Satrio Nugroho

JAKARTA -- Suatu hari dalam tahun 1791, Graaf de Sivrac, seorang pemuda bangsawan Prancis mengendarai kuda kayu beroda di sekitar taman Istana Raja di Paris. Kemunculannya membuat mata orang yang menyaksikannya terbelalak. ‘Kuda’ yang dinamai celerifere itu digerakkan dengan dorongan dua kaki Sivrac yang menyentuh tanah. Tangannya memegang kepala kuda yang tak bisa menoleh itu.

Baca Juga

Di Jerman, Karl Drais membuat alat sederhana beroda dua. Alat ini diberi nama Draisine. Alat ini dibuat dari bahan kayu. Meski sudah ada kemudi, Draisine juga tak memiliki pedal. Agar meluncur, draisin juga harus didorong layaknya celerifere. Meski muncul setelah celerifere, draisine inilah yang lebih disebut-sebut menjadi cikal bakal sepeda.

Dalam 'The Origins of Bicycle', Ken McGin menuliskan, Drais memulai sejarah baru bepergian tanpa kuda saat mengendarai sepedanya sejauh 7,5 kilometer di jalanan Mannheim - Schwetzingen di Jerman.

Namanya pun kian dikenal. Hingga kemudian, Draisine didaftarkan hak patennya pad 1818. Anwari dalam 'Sepeda dari Masa ke Masa' menyebut, karena alasan itulah Drais disebut sebagai nenek moyang sepeda.

Kemudian, pada 1863, Pierre Michaux menambahkan engkol dan pedal di roda depan. Kendaraan ini kemudian dinamakan Velocipede, sepeda modern yang bisa dikendarai tanpa menjejakkan kaki di tanah. Setelah itu, Michaux menjadi perintis produksi sepeda secara massal.

Selain terus diproduksi secara masal, bentuk sepeda pun berkembang dari masa ke masa. Tahun 1870 di Inggris, James Starley membuat Ariel, sepeda dengan ban depan berukuran jumbo. Namun tujuh tahun kemudian, ia merombak desainnya dengan menambahkan sistem gerigi.

Pada 1885, Kemp Starley menambahkan rantai, dengan bentuk sepeda modern. Inovasi sepeda kemudian dilengkapi oleh Boyd Dunlop asal Skotlandia yang menemukan roda berbahan karet, yang bisa diisi angin. Ban yang dipakai hingga saat ini.

Laju produksi masal pun terus berkembang. Hingga kemudian, sepeda sampai juga ke Indonesia, yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.

Simbol Perbedaan Kelas

Ini yang dinamai kereta angin... Kencang, cepat seperti angin... Lari secepat kuda. Tidak perlu rumput, tidak perlu kandang... Lebih nyaman daripada kuda... Kendaraan ini tidak pernah kentut, tidak butuh minum, tidak buang kotoran...

Deskripsi itu ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam 'Anak Semua Bangsa' yang menjadi bagian Tetralogi Pulau Buru di awal 1990-an. Pramoedya menggambarkan betapa takjubnya warga pribumi Indonesia menyaksikan keajaiban ‘kereta angin’.

Rudolf Mrazek dalam 'Engineers of Happy Land' menyebut, sejarah masuknya sepeda sangat samar. Namun, ia memprediksikan, sepeda yang masuk adalah sepeda yang dibuat antara 1918 sampai 1938, waktu di antara terjadinya Perang Dunia I dan II.

Mrazek menuliskan, awalnya, sepeda hanya digunakan oleh kalangan bangsawan dan pemuda belanda. Namun, tak berselang lama, sepeda juga dimiliki pemuda pribumi, terlebih saat kendaraan bermotor mulai masuk ke Indonesia. Merek yang tergolong mewah di antaranya Simplex, Gazelle, Fongers dan Batavus.

Tak lama setelah sepeda masuk, produksi sepeda motor dan mobil menyerbu Hindia Belanda. Kelas sosial sepeda yang tadinya merupakan promadona bangsawan pun langsung bergeser.

Dalam tulisan Mrazek disebutkan, "Para elite yang kebanyakan berdarah Belanda atau campuran Belanda biasanya memandang rendah pribumi yang menggunakan sepeda dan kereta kuda." Sepeda pun menjadi simbol pembeda kelas, antara pribumi dan priyayi.

Ahmad Arif dalam 'Melihat Indonesia dari Sepeda' menyebut, sepeda adalah produk yang dibawa kolonial Belanda ke Indonesia, yang sukses mendapat tempat di kalangan rakyat Indonesia, terutama di Jawa.

Sepeda yang cukup tinggi ini disebut sebagai sepeda onta, yang agaknya dipengaruhi oleh warga Indonesia yang berhaji lalu menyamakan sepeda itu dengan unta. Lama kelamaan, lidah orang Jawa menyebut sepeda ini ‘onthel’. “Jawanisasi sepeda ini menunjukkan bahwa sepeda telah diterima secara luas di kalangan rakyat,” tulis Ahmad.

Kendati kerap diidentikkan dengan kalangan kelas pribumi, sepeda punya tempat khusus di hati Proklamator Indonesia, Soekarno. Diceritakan Cyndi Adams alam buku 'Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia', sang proklamator rupanya gemar bersepeda. Foto Soekarno bersepeda bahkan sangat ikonik.

Cyndi menceritakan, saat bersepeda itulah Soekarno bertemu pemuda petani yang kesusahan bernama Marhaen. Saat itulah, Soekarno mengenal penderitaan rakyat, dan muncul gagasan yang belakangan dikenal dengan Marhaenisme.

''Aku akan memakai nama itu (Marhaen) untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! *Semendjak itu kunamakan rakjatku rakjat Marhaen. Selandjutnja di hari itu aku mendajung sepeda berkeliling mengolah pengertianku jang baru,'' demikian kata Bung Karno dalam buku Cyndi Adams.

Pada tahun 1938-1942, tepatnya saat pengasingan di Bengkulu, Bung Karno juga mempunyai sepeda onthel. Hingga saat ini, sepeda itu masih terpajang di Rumah Pengasingan Bung Karno.

Tren Pascakemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, sepeda onthel dan Eropa yang masuk ke Indonesia mulai berkurang. Onthel produksi Eropa mahal yang mahal harganya kelimpungan saat bersaing dengan sepeda buatan Asia dengan harga yang jauh lebih murah.

Sepeda murah dari China bermerek Phoenix dan Butterfly mulai membanjiri pasar Indonesia. Pasaran sepeda produksi Eropa yang mahal pun kalah total. Presiden Soekarno yang saat itu condong ke 'kiri' bahkan melarang masuknya segala produk buatan Barat, termasuk buatan Belanda dan Eropa Barat.

Sepeda buatan China itu pun menguasai pasar Indonesia selema beberapa dekade. Bahkan, hingga saat ini, sepeda merek Phoenix masih lazim dijumpai di toko sepeda.

Di tahun 2019, harganya rata-rata sekitar pukul Rp 1 juta. Jika dilihat, rangka sepeda buatan China jauh lebih ringan dan ukurannya lebih kecil sehingga pas untuk ukuran masyarakat yang tinggal di Asia.

Sayangnya, tren pemakaian sepeda tak selamanya positif. Ahmad Arif menyebut, ada masanya sepeda masih diidentikkan dengan kalangan marjinal. Di medio 90-an, anggapan bahwa sepeda adalah tunggangan kelas bawah masih juga muncul.

''Laju sepeda kumbang di jalan berlubang, slalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang,'' demikian lirik lagu Iwan Fals menggambarkan keadaan guru di era orde baru, yang dianggap kurang sejahtera. Ia menaiki sepeda Kumbang, alias sepeda onthel.

Sutoyo, petani asal Jawa tengah masih menyimpan sepeda merek Phoenix berwarna hitam miliknya. Pria 65 tahun itu masih ingat, sepeda itu kerap ia gunakan untuk keperluan tani, mulai dari tandur, angkut pupuk, hingga panen. Kata warga Pemalang, Jawa Tengah itu, sepeda itu jadi saksi perjuangan dirinya bergelut sebagai petani sejak tahun 80-an.

"Kalau sekarang kamu tengok ke sawah, ya sudah tidak ada winih (benih), garem (pupuk) dan panenan (hasil panen) diangkut pit (sepeda)," ujar dia saat berbincang dengan Republika.co.id, Senin (9/12).

Apa yang diceritakan Sutoyo seperti yang dituliskan Ahmad Arif sebagai masa keterpurukan sepeda onthel. "Nasib onthel di Jawa sempat terpuruk karena hanya dipakai petani, buruh, dan tukang atau menjadi besi tua," tulis Ahmad Arif.

Kemunculan variasi jenis sepeda di Indonesia dimulai pada tahun 1980an. Berbagai jenis mulai dipasarkan, misalnya sepeda gunung (Mountain Bike), dan sepeda perkotaan (Road Bike). Sepeda anak juga marak diperjualbelikan. Ada pula BMX yang menjadi gaya hidup pemacu adrenalin remaja.

Di saat yang sama, sepeda lipat atau folding bike yang saat ini sangat populer mulai muncul, namun belum sepopuler saat ini.

Menjelang akhir 2000-an, sepeda seperti kembali mendapatkan hati masyarakat Indonesia. Produsen sepeda lokal macam Polygon dan United bahkan mampu berkompetisi di taraf Internasional.

Khusus masyarakat perkotaan, mereka memiliki jenis favorit sepeda sendiri. Dengan masifnya kampanye 'Bike to Work', sepeda lipat pun langsung menjadi primadona. "Jelas primadona, karena bisa dilipat, saat perjalanan jauh kami bisa pakai busway, sepedanya ditenteng," kata Bimo, anggota Komunitas Sepedalipatku yang sehari-hari menggunakan sepeda lipat bermerek Brompton.

Sepeda seolah kembali naik kelas, khusus untuk beberapa merek tertentu. Merek-merek sepeda lipat mahal pun marak di pasaran, seperti Brompton, Dahon, London Taxi dan Tyrell. Brompton yang berasal dari Inggris menjadi merek yang paling dicari, meski harga rata-ratanya sekitar Rp 30 juta.

Bimo yang juga koordinator komunitas Pemakai Brompton di kantornya, Samudra Indonesia menceritakan, sepeda itu harganya meroket karena permintaan yang tinggi. Padahal, Brompton tak memiliki kantor cabang di Indonesia.

"Gue akui sudah jadi gaya hidup gue juga bersepeda itu, di samping menyehatkan tapi bisa juga menjadi media kita bersosialisasi, nyari teman, diskusi," ujar warga Menteng, Jakarta Pusat, itu kepada Republika.co.id.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement