Rabu 11 Dec 2019 17:39 WIB

KPU Diingatkan Kasus Cakada Tersangka KPK Menang Pilkada

KPU diminta melakukan langkah ekstra.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
KPU Diingatkan Kasus Cakada Tersangka KPK Menang Pilkada. Foto: Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini
Foto: Republika/Mimi Kartika
KPU Diingatkan Kasus Cakada Tersangka KPK Menang Pilkada. Foto: Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait kasus calon kepala daerah (cakada) yang terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) memenangi pilkada. KPU diminta melakukan langkah ekstra sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon.

"Khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon. Termasuk pula pengaturan teknis yang konkret untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah hukum," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Selasa (10/12).

Baca Juga

Perludem meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik (parpol) melakukan penggantian atas cakada yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap. Sebab, dengan ditangkap oleh KPK maka si calon tidak bisa melakukan kewajibannya dalam berkampanye.

Padahal, kampanye itu merupakan sebagai bagian dari kerja pendidikan politik yang harus dilakukan cakada. Dengan demikian, cakada yang kena OTT KPK itu tidak bisa lagi melakukan proses pencalonan secara permanen.

Titi menyebutkan, usulan ini berkaca dari pengalaman Pilkada 2018 di mana ada sembilan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah pejawat yang kena OTT KPK. Sembilan itu diantaranya pilkada Sultra, Maluku Utara, Lampung Tengah, Subang, Tulungagung, Jombang, Ngada, dan Malang.

"Sangat disayangkan mereka tidak bisa diganti akibat PKPU yang tidak memungkinkan itu, dan akhirnya dua orang yang sedang ditahan KPK malah terpilih memenangi pilkada," kata Titi.

Titi menyebutkan, dua orang yang ditahan KPK memenangi pilkada pada 2018 lalu yaitu Ahmad Hidayat Mus (pemilihan gubernur Maluku Utara) dan Syahri Mulyo (pemilihan bupati Tulungagung, Jawa Timur). Keduanya ditetapkan sebagai gubernur maupun bupati terpilih meski menyandang tersangka koruptor.

Selain itu, lanjut Titi, KPU perlu melakukan terobosan pengaturan teknis dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye serta PKPU tentang Pemungutan dan Penghitungan suara di TPS. KPU harus menerjemahkan lebih spesifik, konkret, dan menjangkau secara luas atas klausul 'jujur dan terbuka' bahwa cakada yang eks napi mengakui dirinya adalah mantan terpidana.

Pengaturan di PKPU Kampanye dapat berupa pengumuman dan pencantuman secara konsisten informasi soal rekam jejak hukum mantan napi. Informasi yang memuat dihukum atas perbuatan apa, dihukum berapa lama, dan kapan bebas murni.

Pencantuman tersebut dilakukan dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, yang digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada. Selain itu di dalam ketentuan PKPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara diTPS juga perlu diatur tentang pengumuman soal status mantan napi itu.

Informasi tersebut dimuat di papan pengumuman masuk TPS yang memuat profil atau daftar riwayat hidup calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selama ini di setiap TPS selalu diumumkan profil calon yang berkontestasi di pilkada, tetapi KPU belum pernah mengatur soal pengumuman mantan terpidana di TPS seperti ini baik di pemilu legislatif maupun pilkada.

"Harapannya, Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik," tutur Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement