Selasa 10 Dec 2019 18:53 WIB

Kearifan Lokal Belum Dioptimalkan untuk Cegah Radikalisme

Penangkal radikalisme dan terorisme paling kuat adalah kearifan lokal.

Rep: Febryan A/ Red: Ratna Puspita
Kepala BNPT Suhardi Alius (kedua dari kanan) sedang memaparkan hasil Survei BNPT 2019 di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Selasa (10/12)
Foto: Republika/Febryan A
Kepala BNPT Suhardi Alius (kedua dari kanan) sedang memaparkan hasil Survei BNPT 2019 di Hotel Mercure, Jakarta Utara, Selasa (10/12)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2019 menemukan kearifan lokal belum dimanfaatkan secara optimal sebagai alat penangkal radikalisme dan terorisme. Padahal, dalam survei BNPT tahun 2017 dan 2018, sudah diketahui bahwa penangkal radikalisme dan terorisme paling kuat adalah kearifan lokal.

Survei yang dilakukan di 32 provinsi ini menemukan bahwa Indeks Internalisasi Kearifan Lokal secara nasional hanya berada di angka 36.63 poin pada skala 0-100. Indeks tersebut masuk dalam kategori rendah. 

Baca Juga

"Masyarakat yang lebih terdidik dan berpendapatan lebih tinggi cenderung memiliki indeks Internalisasi Kearifan Lokal lebih tinggi," kata Kepala BNPT Suhardi Alius di Jakarta, Selasa (10/12).

Sedangkan dimensi tingkat kepercayaan masyarakat atas kearifan lokal ada pada skor 57.78 (kategori sedang). Kemudian diikuti oleh dimensi wawasan terkait kearifan lokal dengan skor 36.91 (kategori rendah). Lalu, dimensi keterlibatan masyarakat dalam pelestarian kearifan lokal dengan skor 16.20 (kategori sangat rendah). 

"Artinya kearifan lokal masih hanya diyakini 'diimani' sebagai penangkal radikalisme di masyarakat namun wawasan dan praktek dalam pelestarian kearifan lokal masih rendah," kata Suhardi. 

Suhardi menjelaskan, masih minimnya kearfian lokal dimanfaatkan sebagai penangkal radikalisme dan terorisme lantaran kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. Sebab, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang ada di setiap provinsi tak akan mampu menghidupkan dan menginventarisasi semua kearfian lokal yang ada.

Padahal di setiap provinsi, bahkan setiap kabupaten, ada kearifan lokal yang sangat kuat sebagai penangkal teorisme. "Tapi, kalau tidak ada respons dari pemerintah daerah kan tidak bisa. Tidak bisa FKPT saja," ucap Suhardi.

Suhardi mencontohkan, kearifan lokal yang perlu dihidupkan dan dilestarikan kembali itu seperti peran niniak mamak (kepala suku) dalam budaya Minangkabau di Sumatra Barat. Di mana setiap masalah yang terjadi di kampung terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Sehingga fungsi kontrol itu hidup. 

"Niniak mamak itu harus diangkat (lagi). 'Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah' itu harus hidup. Nah sekarang belum ada respon dari daerah untuk itu (melestarikan kembali)," kata Suhardi merupakan putra daerah Sumatera Barat itu.

Ia pun berharap kedepan agar pemerintah daerah mau lebih bersinergi dengan FKPT yang ada di tiap provinsi. Sehingga, radikalisme dan terorisme bisa dicegah.

Survei BNPT 2109 dilakukan pada April hingga Juli 2019. Secara metodologi, sampel dalam riset ini diambil dengan menggunakan Teknik Multistage Cluster Random Sampling dengan rumah tangga sebagai unit terkecil. 

Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 15.360 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Kriteria responden adalah mereka yang berusia diatas 17 tahun. 

Secara nasional margin of error riset ini sebesar 0.79 persen pada selang kepercayaan 95 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement