REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil sembilan mantan petinggi PT Garuda Indonesia untuk diperiksa sebagai saksi, Selasa (10/12). Pemeriksaan tersebut terkait dengan lanjutan penyidikan korupsi suap pengadaan mesin pesawat dan pesawat pada PT Garuda Indonesia dari Roll-Royce PLC dan Airbus SAS periode 2004-2015.
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HDS," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan jadwal pemeriksaan, Selasa (10/12).
HDS inisial Hadinoto Soedigno, mantan direktur teknik dan pengelola armada Garuda Indonesia, yang KPK tetapkan sebagai tersangka sejak Agustus 2019. Namun, KPK sampai hari ini belum melakukan penahanan terhadap Hadinoto. Sembilan saksi Hadinoto yang KPK periksa sebagai saksi tersebut, yakni Commersia Expert Garuda Ardy Protoni Doda, Corporate Planning Albert Burhan yang juga pernah menjadi vice presiden treassury management.
Selain itu, KPK juga memanggil Agus Priyanto direktur komersial Garuda 2005-2012, dan Achrina mantan direktur strategi, pengembangan bisnis, dan manajeman risiko 2002-2012, serta mantan executive EVP service Arya Respati Suryono. Ari Sapari yang pernah menjadi direktur operasional juga penerbang di Garuda Indonesia ikut dipanggil untuk diperiksa dan Agus Wahjudo yang pernah menjadi pegawai di PT Garuda Indonesia.
Dua lainnya, yakni Direktur Keuangan Garuda 2012-2014 Handirot Harjono, serta Ester Siahaan, eks pegawai Garuda Indonesia, yang kini menjadi direktur keuangan PT Gapura Angkasa. Sampai pukul 15.30 WIB, dari sembilan yang dipanggil tak hadir semua. Dari pantauan di gedung KPK, Kuningan Persada, empat dari sembilan orang itu sudah keluar dari pemeriksaan. Yakni, Ari Sapari dan Ester.
Namun, keduanya menolak untuk ditanyai wartawan tentang materi maupun pemeriksaan. Dua lainnya, Agus Pryitno dan Burhan, menerangkan pemeriksaan terhadap keduanya memang menyangkut tentang dugaan suap Hadinoto. "Ini kan pemeriksaan saya sebagai saksi untuk tersangka HS (Hadinoto) itu," kata Burhan saat ditemui seusai pemeriksaan.
Ia menolak untuk membeberkan tentang materi pemeriksaan selama tiga jam lebih itu. Namun, kata dia, dirinya memang ditanyai tentang dugaan korupsi suap terhadap tersangka. "Ya diperiksa tentang itu. Sama seperti yang kemarin, tetapi ini kan tersangka berbeda," ujarnya.
Burhan memang menjadi saksi dalam kasus Garuda Indonesia untuk tersangka lain. Sedangkan Agus Prayitno mengatakan, dirinya ditanyai serentetan pertanyaan setebal 42 halaman. Namun, ia menolak untuk membeberkan satu pun dari rentetan pertanyaan tersebut.
"Saya tidak mau masuk (menjawab) ke materinya ya," kata dia.
Akan tetapi, ia mengakui mengetahui tentang tuduhan suap yang dituduhkan KPK terhadap sejumlah nama mantan petinggi Garuda Indonesia.
"Saya saksi. Saya kemari diperiksa sebagai warga negara yang baik," ujarnya.
Terkait tersangka Hadinoto Soedigno, sebetulnya bukan tersangka satu-satunya dalam skandal suap pembelian mesin dan pesawat di Garuda Indonesia. KPK juga menetapkan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Direktur PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo dalam kasus pembelian mesin dan pesawat dari konsorsium penerbangan asing tersebut. KPK pernah menerangkan, tiga tersangka itu setali tiga uang dalam satu kasus, tapi akan dilidik dalam perkaranya masing-masing.
Untuk Hadinoto, KPK menuduhnya menerima uang dari Soetikno, selaku bos PT MRA senilai 2,3 juta dolar AS, dan 477 ribu euro. Jika ditotal uang tersebut, setara Rp 40 miliar dan dikirim lewat transfer di Singapura. Uang tersebut diduga terkait suap untuk pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia dari Roll Royce dan Airbus yang pengadaannya melalui PT MRA. Selain memberikan suap kepada Hadinoto, Soetikno juga memberikan suap senilai 1,2 juta dolar AS dan 180 ribu dolar AS kepada Emirsyah.
Sementara KPK belum melakukan penahanan terhadap Hadinoto. Namun, KPK melakukan penahanan terhadap Emirsyah dan Soetikno sejak Agustus 2019. Febri Diansyah pekan lalu menyampaikan, untuk penyidikan terhadap dua tersangka, Emirsyah dan Soetikno berkasnya sudah lengkap. Dalam Desember 2019, kata Febri, jaksa penuntut umum (JPU) KPK akan menyeret keduanya ke pengadilan tindak pidana korupsi untuk didakwa di PN Negeri, Jakarta.