REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan agama punya potensi besar menggerakkan umat manusia berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim. Hal itu sudah dibuktikan dengan sejumlah aksi nyata di berbagai belahan dunia.
Yenny menyatakan, agama memiliki kemampuan menggerakkan manusia pada hal-hal yang abstrak. "Sebut saja soal surga dan neraka yang secara fisik tidak diketahui," ujarnya usai menjadi pembicara di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP25 UNFCCC di Madrid, Spanyol, Senin (9/12).
Di sisi lain, perubahan iklim yang secara nyata terjadi, belum mampu menggerakkan umat manusia secara masif untuk melakukan aksi mencegah pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK). Untuk itu, Yenny mengajak mengoptimalkan peran agama dan umatnya.
"Saya mengajak semua untuk hijrah melakukan tindakan dalam pengendalian perubahan iklim," kata dia.
Menurut Yenny, upaya menggerakkan umat manusia agar beraksi dalam pengendalian perubahan iklim keliru jika hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Seharusnya umat manusia juga disentuh hati dan perasaannya agar melakukan aksi konkret.
Kemampuan menyentuh emosi umat manusia itulah yang dimiliki oleh agama. "Tidak bisa hanya sekadar fakta, harus sentuh juga emosinya," katanya.
Besarnya potensi agama dalam pengendalian perubahan iklim karena sekitar 80 persen umat manusia yang ada di bumi saat ini memeluk agama. Yenny menuturkan, agar peran agama bisa opimal maka organisasi keagamaan dan para pemuka agama harus dilibatkan sebagai pihak dalam pengendalian perubahan iklim. Mereka juga harus mendapat edukasi dan difasilitasi sehingga memahami apa penyebab dan dampak perubahan iklim.
"Pemimpin keagamaan bisa menyebarkan dakwah baru tentang perubahan iklim," katanya.
Apalagi, berbagai agama di dunia sesungguhnya mengajarkan tentang perlunya menjaga lingkungan hidup. Dalam ajaran Islam, ada konsep manusia sebagai kilafah harus mengambil kepemimpinan dalam menjaga bumi. Dalam agama Sikh, konsep tersebut juga ada dan harus dilakukan oleh semua pengikutnya.
Saat ini, sudah banyak aksi nyata yang dilakukan oleh kelompok umat beragama. Yenny mencontohkan saat menghadiri pertemuan ulama di Oman dibahas tentang fikih (hukum Islam) penghematan air.
"Banyak juga sinagog yang kini menerapkan penghematan," kata dia.
Menurut Yenny, fenomena keterlibatan kelompok beragama dalam pengendalian perubahan iklim juga terjadi di Indonesia. Dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kerap melakukan aksi yang bermanfaat bagi lingkungan hidu, seperti menanam mangrove, mendaur ulang sampah, dan tidak menggunakan plastik sekali pakai.
Dia berharap peran seperti itu bisa terus diperkuat. "Kita beruntung kerja sama antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan erat di Indonesia," katanya.