Senin 09 Dec 2019 21:14 WIB

KPAI Ungkap Data dan Modus Kekerasan Fisik di Sekolah

KPAI mengungkap, selain dialami anak, kekerasan fisik di sekolah juga landa guru.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menungkap data dan modus kekerasan fisik di sekolah mulai Januari hingga Oktober 2019.
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menungkap data dan modus kekerasan fisik di sekolah mulai Januari hingga Oktober 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan tingkat kekerasan fisik terhadap anak di lingkungan pendidikan, terutama sekolah, sebetulnya turun secara angka kejadian pada 2019. Akan tetapi, tingkat keparahannya cukup mengerikan.

"Kekerasan fisik sesungguhnya turun, tetapi agak mengerikan karena sudah mencapai level korban jiwa," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam Workshop Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di satuan Pendidikan di Jakarta, Senin.

Baca Juga

Retno menyebutkan bahwa selama Januari sampai Oktober 2019, KPAI telah melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap 21 kasus kekerasan fisik di lembaga pendidikan. Berdasarkan pemantauan tersebut, KPAI menemukan kekerasan fisik yang terjadi di jenjang SD/MI sebanyak tujuh kasus, di SMP lima kasus, SMA/MA tiga kasus, dan SMK empat kasus.

Dari ke-21 kasus tersebut, siswa korban kekerasan fisik mencapai 65 anak. Di lain sisi, guru yang menjadi korban kekerasan sebanyak empat orang.

Sementara itu, pelaku kekerasan fisik di lingkungan sekolah tersebut di antaranya adalah kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Kasus kekerasan guru atau kepala sekolah terhadap siswa mencapai delapan kasus atau 38,10 persen.

KPAI mendata, kekerasan siswa terhadap guru ada dua kasus atau 9,52 persen dan kekerasan orang tua siswa terhadap guru sebanyak dua kasus, atau sebanyak 9,52 persen. Pelaku kekerasan siswa terhadap siswa lainnya juga cukup tinggi, yaitu delapan kasus atau 38,10 persen.

Selain itu, Retno juga menyebutkan kasus unik ketika seorang motivator yang diundang sekolah untuk menjadi narasumber justru melakukan kekerasan terhadap peserta seminar. Ada 10 anak yang menjadi korban penamparan dan makian "goblok" dari motivator tersebut.

Sementara itu, Retno juga mengatakan pelaku kekerasan fisik terdiri dari guru/kepala sekolah sebanyak delapan orang, pelaku orang tua siswa sebanyak tiga orang, pelaku motivator satu orang dan siswa sebagai pelaku mencapai 37 orang.

Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru pada umumnya dilakukan dengan dalih untuk pendisiplinan siswa. Korban kekerasan oleh guru atau kepala sekolah tersebut biasanya mendapat perlakuan keras seperti dicubit, dipukul atau ditampar, dibentak dan dimaki, dijemur di terik matahari dan dihukum lari mengelilingi lapangan sekolah.

Sementara itu, kekerasan fisik yang dilakukan siswa terhadap siswa lainnya umumnya dilakukan secara bersama-sama dengan pengeroyokan dengan cara dipukul, ditampar, dan ditendang. Adapun kekerasan siswa terhadap guru contohnya di salah satu SMP di Gunung Kidul, Yogyakarta, yaitu ketika siswa SMP mendatangi sekolah dengan membawa celurit karena gurunya menyita ponsel siswa tersebut.

Sementara itu, penyebaran wilayah kejadian dari 21 kasus kekerasan fisik tersebut meliputi 13 provinsi pada sejumlah kabupaten/kota, antara lain Lumajang, Malang, Surabaya, Madura, Pasuruan, Jombang, Grobogan, Kendal, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Gunung Kidul, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Labuan Batu Utara, Banjarmasin, Kabupaten Mandar, Kabupaten Lombong Timur, Kabupaten Sikka, Gowa, dan Kota Manado.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement