Selasa 10 Dec 2019 00:11 WIB

Pemerintah Pro Investasi, UU Masyarakat Adat Diperlukan

RUU Masyarakat Adat terkatung-katung meski digodok selama dua periode pemerintahan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. AMAN menilai keberadaan Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat sebagai hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. AMAN menilai keberadaan Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat sebagai hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat dinilai sebagai hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat. Terlebih pada era pemerintahan yang pro-investasi seperti saat ini.

"(Keberadaan UU Masyarakat Adat) urgensinya sekarang ini justru situasi kita semakin urgent," ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (9/12).

Baca Juga

Ia juga mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini, yang pro investasi, akan membuat tingkat keterancaman masyarakat adat semakin tinggi. Ketika investasi, proyek pemerintah, pembangunan jalan masuk ke wilayah adat tanpa ada kepastian hukum terhadap masyarakat adat, bukan tidak mungkin konflik yang berujung pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat akan terus terjadi.

"Sehingga, UU ini sangat penting karena akan memastikan program pemerintah akan berjalan dengan baik tanpa perlu mengorbankan masyarakat sendiri, yaitu masyarakat adat, jika program tersebut dilandasi UU Masyarakat Adat," ungkapnya.

Rukka menjelaskan, saat ini memang sudah ada banyak peraturan perundang-undangan, dari berbagai sektor, yang mengatur atau menyinggung keberadaan masyarakat adat. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan sektoral tersebut justru menyulitkan masyarakat adat mendapatkan hak-hak tradisionalnya.

"Mengakibatkan masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan hak-hak tradisionalnya, karena dalam prakteknya UU tersebut saling tumpang-tindih dan menyandera pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat," tutur dia.

Hingga kini, Rancangan UU (RUU) Masyarakat Adat masih terkatung-katung tak kunjung naik menjadi UU. RUU tersebut telah digodok selama dua periode pemerintahan, yakni pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) DPR RI pada 2013, 2014, dan Prolegnas Prioritas 2019. Sejak lebih dari 20 tahun lalu masyarakat adat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil telah melayangkan tuntutan yang dilakukan secara sporadis.

Mereka menuntut negara untuk segera melakukan langkah-langkah pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat di Indonesia. Pelindungan, Penghormatan, dan Pemenuhan merupakan prinsip HAM yang kewajiban untuk melaksanakannya diletakkan pada negara.

Pengakuan negara secara konstitusi terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak tradisional yang melekat tertuang di dalam UU Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2). "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang," begitu bunyi pasal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement