Senin 09 Dec 2019 20:22 WIB

Orang Utan Korban Konflik dengan Manusia Dilepasliarkan

BBKSDA melepasliarkan seekor Orangutan Tapanuli yang menjadi korban konflik.

Rep: Ilham Tirta/ Red: Bayu Hermawan
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) melepasliarkan seekor Orangutan Tapanuli
Foto: Ilham Tirta
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) melepasliarkan seekor Orangutan Tapanuli

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) melepasliarkan seekor Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanulisiensis), yang diduga menjadi korban konflik dengan manusia di Dusun Aek Batang Paya, Tapanuli Selatan. Orangutan yang diberi nama Paya (40 tahun) itu dilepas di kawasan Cagar Budaya Dolok Sibual-buali pada Senin (9/12).

Pengangkatan pintu sangkar Paya dilakukan Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Santuri di dalam kawasan hutan lindung dengan jarak sekitar 2 kilometer dari jalan umum. Pelepasliaran ini adalah hasil kerja sama BBKSDA dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru.

Baca Juga

"Ini orangutan yang kita evakuasi pada 19 September lalu di Dusun Batang Paya, di tubuhnya saat itu ada luka-luka akibat benda tajam," kata wanita yang kerap dipanggil Hotmauli di lokasi pelepasan Paya.

Paya tersebut ditemukan oleh warga setempat dalam kondisi yang memprihatinkan sekitar sepekan sebelum dievakuasi di luar kawasan PLTA Batang Toru. Diduga orangutan itu korban konflik dengan warga, khsusnya petani petai atau durian. Konflik itu biasanya dimulai dari pengusiran orangutan yang hendak memakan hasil tanaman mereka.

Evakuasi pada 19 September melibatkan tim ahli dari BBKSDA. Ada dua luka serius di tubuh Paya, yaitu luka terbuka di dahi dan lengan akibat benda tajam. Selain itu, Paya diketahui dalam kondisi lemah karena kurang nutrisi dan tak mau makan. Paya tersebut kemudian diserahkan ke Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera (PKOS), sebuah lembaga swadaya yang berlokasi di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang untuk rehabilitasi dan penyembuhan.

Uli mengatakan, keputusan untuk melepasliarkan Paya tersebut setelah dilakukan assesment menyeluruh. Selain karena luka-lukanya telah sembuh, yang paling penting, Paya masih memiliki agresifitas seperti satwa liar lainnya. Hal itu menentukan apakah dia bisa bertahan di hutan Cagar Alam.

"Karena sifat agresifnya masih ada, dia masih bisa survive, maka hari ini kita bawa ke Sibual-buali ini, kembali ke rumahnya" kata Uli.

Uli berharap, keadaan Paya akan semakin baik di wilayah cagar alam sesuai assesment kelayakan. Diyakini, Paya akan bisa bertahan di sana karena wilayahnya masih sama dengan kawasan tempat ia ditemukan, bahkan dimungkinkan Paya berasal dari wilayah pelepasan itu.

"Kita akan pantau terus, sekitar satu pekan. Yang kita khawatirkan jika dia turun ke jalan atau ke pemukiman warga," ujar Uli.

Cagar Budaya Dolok memiliki luas 5.012 hektar dengan tingkat kepadatan orangutan yang rendah. Paya adalah orangutan ke-16 yang mendiami kawasan tersebut. Sementara, populasi orangutan Tapanuli di semenanjung Batang Toru sekitar 577-760 ekor.

Soal kerja sama dengan PLTA Batang Toru, Uli mengaku karena selama ini perusahaan itu telah banyak melakukan upaya konservasi satwa lindung di sekitar kawasannya. Perusahaan itu membentuk kelompok masyarakat setempat menjadi kader-kader konservasi. Tim ini yang aktif patroli melihat satwa yang perlu diperhatikan.

"Selama ini mereka cukup aktif dalam usaha menjaga satwa di kawasan itu, mereka berkepentingan untuk menjaganya," kata dia.

Dokter Hewan yang menangani Paya di lokasi penangkaran, Andika Pandu Wibisono mengklaim kondisi fisik dan kesehatan orang utan itu sudah baik sehingga memungkinkan untuk dilepas kembali. Menurut dia, luka-luka yang dialami Paya saat ditemukan sudah ditangani secara medis. "Kami melakukan operasi ringan seperti penjahitan dan diberikan antibiotik karena ada beberapa luka yang sudah infeksi," kata dia.

Penyembuhan luka Paya, kata dia, cukup cepat. Sekitar dua pekan setelah diserahkan pada pusat karantina, luka-lukanya sudah mulai menutup. Dia juga sudah terlihat mulai merespon lingkungannya, seperti takut dan berontak ketika didekati oleh penjaganya. "Sifat aslinya yang liar mulai terlihat, dan itu bagus," kata dia. Pandu juga terus mendampingi Paya hingga pelepasan Senin pagi.

Tanggung jawab moral

Dalam acara itu, PLTA Batang Toru diwakili Konsultan Konservasi dan Rehabilitasi perusahaan, Rondang Siregar. Ia menjelaskan, pelepasan kembali Paya itu adalah salah satu tanggung jawab mereka.

Rondang mengatakan, sebanyak 122 hektar lahan yang dikuasai PLTA adalah bagian dari habitat orang utan. Hal itu diketahui pada awal PLTA itu berdiri dan membuka lahan. Karena itu, perusahaan merasa harus terlibat dalam menjaga kelestarian habitat tersebut.

"Jadi, ada tanggung jawab moral, tanggung jawab perusahaan untuk ikut menjaga kelestarian populasi orangutan ini yang kebetulan pada 2017 ditetapkan sebagai spesies baru orangutan," kata Rondang.

Menurut dia, selama ini PLTA berusaha menjadi jembatan antara masyarakatml, khususnya pekebun setempat dengan orangutan. Namun, pihaknya sangat berhati-hati karena setiap wilayah memiliki karakter yang berbeda dalam menangani orangutan. "Ada yang karena ekonomi, ada yang karena dianggap hama, ada juga karena provokasi-provokasi," kata dia.

Karena itu, pihaknya berusaha menemukan cara bagaimana masyarakat setempat kembali pada budaya lama, yaitu menganggap orangutan sebagai 'leluhur' mereka. Karena ada juga, kata dia, mayarakat desa yang sengaja menyisihkan beberapa pohon duren untuk orangutan. Rondang menilai, sumber konflik antara manusia dan orangutan karena terkikisnya budaya tersebut, dan berganti dengan menganggap orangutan sebagai 'hama' dan musuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement