Senin 09 Dec 2019 17:44 WIB

Sidang MK, Komisioner KPK Mengaku tak Dilibatkan Rumuskan UU

KPK sejatinya dilibatkan dalam pembahasan UU KPK karena bagian dari eksekutif.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Aswanto (tengah) didampingi Hakim Enny Nurbaningsih (kiri) dan Hakim Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin jalannya sidang pengujian formil mengenai Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (2/12/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Aswanto (tengah) didampingi Hakim Enny Nurbaningsih (kiri) dan Hakim Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin jalannya sidang pengujian formil mengenai Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (2/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan Ketua KPK Agus Rahardjo dan 12 orang lainnya. Kuasa hukum pemohon, Feri Amsari mengatakan, komisioner KPK tak dilibatkan dalam perumusan revisi UU KPK.

"Dalam putusan MK pernah dikatakan bahwa KPK merupakan bagian dari (lembaga) eksekutif. Sehingga semestinya begitu surat presiden (dikirim) harusnya mengirim juga perwakilan dari KPK karena KPK bagian dari eksekutif karena bagian dari Undang-Undang yang diubah," ujar Feri dalam persidangan di MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12).

Baca Juga

Namun, lanjut dia, pemerintah hanya mengirimkan dua perwakilan yakni Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Menurut dia, semestinya KPK juga dilibatkan karena berkaitan langsung sebagai pelaksana UU tersebut.

Feri menjelaskan, Komisioner KPK tidak dilibatkan dalam perumusan revisi undang-undang yang menyangkut eksistensi lembaganya sendiri. Komisioner KPK juga tidak mengetahui secara langsung materi muatan perubahan UU KPK yang digodok oleh pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR.

Feri mengatakan, Komisioner KPK secara aktif mendesak pembentuk undang-undang untuk mengikutsertakan instansinya dalam pembahasan revisi UU KPK. Akan tetapi, pembentuk undang-undang tidak mengindahkan permohonan KPK tersebut.

Oleh karena itu, menurut pemohon, frasa 'dapat' dalam Pasal 138 Tata Tertib DPR harus ditafsirkan menjadi kewajiban dan mengikat bagi pembentuk undang-undang. Ketika lembaga yang bersangkutan berupaya secara giat untuk dilibatkan dalam pembahasan undang-undang tentang kelembagaannya.

Pasal itu menentukan, dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan UU berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. Selain itu, kuasa hukum pemohon lainnya, M Isnur mengatakan, pembahasan perubahan UU KPK tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

"Undang-Undang a quo tidak dilakukan secara partisipatif, tidak melibatkan publik, tidak mengundang ahli dan lain-lain secara luas, termasuk tadi tidak melibatkan KPK sebagai lembaga yang dibahas sendiri oleh Undang-Undang a quo," kata Isnur.

Ia menerangkan, naskah akademik dan dan Rancangan Undang-Undang KPK tak dapat diakses oleh publik. Kemudian pembahasannya dinilai terhitung hanya 11 hari pembahasan hingga UU KPK disahkan. "Kemudian Undang-Undang a quo tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai," imbuh Isnur.

Tiga pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bersama 10 orang pegiat antikorupsi. Setelah sidang pendahuluan hari ini, MK memberikan waktu 14 hari sampai 23 Desember 2019 untuk pemohon memperbaiki berkas permohonan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement