REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh lilis sri handayani
Nenek Cartem (60 tahun) duduk termenung di halaman rumahnya di RT 02 RW 01, Blok Telukan, Desa Kiajaran Kulon, Kecamatan Lohbener, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar). Dengan kondisi kakinya yang lumpuh, tak ada aktivitas apa pun yang bisa dilakukannya.
Nenek Cartem pun harus melalui masa tuanya sebatang kara. Suaminya telah meninggal sejak lama. Selama kehidupan rumah tangganya, dia tidak dikaruniai seorang anak. Keluarga dekatnya tinggal di kecamatan lain dan sudah tidak pernah menjenguknya sejak beberapa tahun terakhir.
Sebelum kakinya lumpuh, Nenek Cartem bekerja sebagai buruh tani dan hidup mandiri. Namun, akibat terjatuh sekitar tiga tahun lalu, kakinya tak bisa lagi digerakkan. Kesehariannya kini hanya dihabiskan di rumah yang berukuran sekitar 3x3 meter. Di dalam rumah itu hanya ada ranjang kayu sederhana dan sebuah kasur tipis di atasnya.
Lantai rumah itu seluruhnya dari tanah. Dindingnya sebagian terdiri atas bilik bambu dan sebagian lainnya berupa terpal plastik yang telah usang. Sedangkan, pintunya hanya terbuat dari sehelai kain lusuh. Rumah itu lebih layak disebut gubuk derita.
Saat cuaca panas, Nenek Cartem selalu merasa kepanasan di dalam rumahnya. Sedangkan, saat hujan, angin dingin menerobos masuk dari celah bilik yang berlubang.
Tak ada kamar mandi di gubuk tersebut. Untuk kepentingan buang air besar, Nenek Cartem harus mengesot menggunakan tangannya menuju pekarangan. Sedangkan, untuk buang air kecil, dilakukannya di dalam gubuknya. Karenanya, di dalam gubuk tersedia beberapa buah ember kecil.
Gubuk milik Nenek Cartem pernah roboh terkena angin kencang beberapa waktu yang lalu. Beruntung, para tetangganya bersedia bergotong royong membangunnya kembali meski dengan sangat sederhana.
Entah mengapa, gubuk itu tak tersentuh program perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu) dari pemerintah. Padahal, gubuk tersebut berdiri di atas tanah miliknya sendiri yang menjadi salah satu syarat memperoleh bantuan rutilahu.
Tak hanya soal rumah, Nenek Cartem juga tidak memperoleh program bantuan apa pun dari pemerintah. Padahal, pengurus RW sudah memasukkan data Nenek Cartem ke pihak pemerintah desa.
“Saya hanya bisa mengajukan bantuan ke desa. Tidak tahu kenapa (Nenek Cartem) tidak dapat (bantuan),” kata Ketua RW setempat, Muhamad Hasim, saat ditemui di gubuk milik Nenek Cartem, akhir pekan kemarin.
Untuk keperluan makan sehari-hari, Nenek Cartem sepenuhnya menggantungkan diri dari belas kasihan para tetangganya. Ada pula kerabat yang tinggal tak jauh dari gubuknya yang kerap memperhatikan kebutuhannya sehari-hari.
Tak hanya dari tetangga, kepedulian terhadap Nenek Cartem juga ditunjukkan oleh para jurnalis yang tergabung dalam Journalist Indramayu Police (JIP). Para jurnalis dari berbagai media, baik cetak, online, maupun televisi itu menyalurkan bantuan berupa kebutuhan pokok maupun donasi uang.
Nenek Cartem pun tak kuasa menahan tangisnya saat menerima bantuan yang sangat dibutuhkannya itu. Sambil terus menangis, dia menyampaikan rasa terima kasihnya.
Ketua JIP, Udi Iswahyudi, mengatakan, aksi yang dilakukan itu sebagai bentuk kepedulian para jurnalis terhadap nasib yang dialami Nenek Cartem. Di usianya yang senja dan sebatang kara, Nenek Cartem harus hidup dalam segala kekurangan.
“Kami lakukan ini dengan alasan kemanusiaan. Semoga, bisa meringankan beban Nenek Cartem,” kata Udi.
Udi menambahkan, pihaknya juga akan berusaha agar Nenek Cartem bisa menjadi salah satu penerima program bantuan rutilahu. Pasalnya, rumah yang ditinggali Nenek Cartem sangat tidak layak huni. n ed: mas alamil huda