REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berhasil menerapkan sistem informasi dalam pelaksanaan pemilu 2019 lalu. Akan tetapi, KPU perlu mengevaluasi agar penggunaan teknologi membantu KPU daerah menyelenggarakan pemilihan.
"Menurut kami KPU telah berhasil menerapkan sistem informasi. Permasalahannya, apakah efektif, berjalan dengan baik atau tidak," ujar Bagja kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (3/12).
Apalagi, pada 2020 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah baik di tingkat provinsi maupu kabupaten/kota. Ia mencontohkan, sistem informasi logistik (Silog) pada pemilu kemarin tak terdeteksi oleh sejumlah KPU daerah ketika ada salah surat suara.
Akibatnya, pelaksanaan pemungutan suara tidak berjalan tepat waktu dan merugikan tenaga petugas. Padahal, Silog seharusnya membantu meminimalisasi kesalahan-kesalahan seperti itu serta membantu KPU daerah melakukan proses distribusi perlengkapan pemilu.
"Kita contohkan tadi Silog, kok tidak terdeteksi oleh KPU daerah ketika ada salah surat suara. Kan seharusnya sistem informasi membantu teman-teman untuk melihat distribusi perlengkapan pemilu melalui Silog," kata dia.
Selain itu, ia juga meminta KPU membenahi permasalahan Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Terkait rencana KPU RI menerapkan rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik atau e-rekap pada Pilkada 2020, menurut Bagja, regulasinya harus dicantumkan dalam Undang-Undang.
Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih disebut rekapitulasi secara manual yang dilakukan berjenjang. Sehingga, KPU perlu mengkaji ada permasalahan hukum atau tidak jika e-rekap tetap dilaksanakan tanpa ada revisi UU Pilkada terlebih dahulu.
"Harus dilihat Undang-Undangnya, apakah bertabrakan atau tidak. Karena dalam Undang-Undang Pilkada, masih disebut rekap manual berjenjang. Lalu bagaimana dengan e-rekap? E-rekap itu ada di Pasal 111 UU Pilkada, kita harus tentukan dulu, masalah atau tidak," tutur Bagja.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama menjelaskan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) belum memuat secara spesifik terkait penggunaan teknologi pungut maupun hitung. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, beberapa pasal sudah menyebutkan dan memperbolehkan penggunaan teknologi tersebut.
Namun, UU Pilkada tersebut hanya mengatur tahapan pemungutan dan penghitungan suara yang memanfaatkan teknologi. Sementara tahapan penentuan hasil, termasuk aturan mengenai keadilan pemilu yang berkaitan dengan desain q pemilu ketika penerapan teknologi itu, tidak diatur dalam UU Pilkada.
"Undang-undang Pilkada tidak mengatur mekanisme sengketa itu yang ketika menggunakan teknologi pemilu, termasuk peran Bawaslu di sana. Undang-Undang Pilkada tidak spesifik membahas hal itu," kata Heroik.