Senin 02 Dec 2019 19:29 WIB

Warga Teken Petisi Tolak Tambang Pasir Krakatau

Penambangan pasir GAK berdampak langsung pada masyarakat dan ekosistem laut.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Ratna Puspita
Warga menolak penambangan pasir Gunung Anak Krakatau (GAK).
Foto: Dok Warga Rajabasa Sebesi
Warga menolak penambangan pasir Gunung Anak Krakatau (GAK).

REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG SELATAN -- Sejumlah warga yang berada di Kecamatan Rajabasa bersama organisasi massa di Kabupaten Lampung Selatan menandatangi petisi pada kain putih panjang di Dermaga Canti, Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Senin (2/11). Warga baik orang dewasa maupun anak sekolah berduyun-duyun mendatangi tempat dipajang kain putih panjang berisi petisi tersebut.

Isi spanduk petisi yakni penolakan tambang pasir Gunung Anak Krakatau (GAK) dan mencabut izin tambang PT Lautan Indah Persada (LIP) yang masih beroperasi di perairan GAK dan Pulau Sebesi. Menurut Juhariansyah, korlap aksi petisi mengatakan, petisi ini untuk mengingatkan warga agar musibah bencana tsunami yang melanda warga setempat tidak terulang lagi.

Baca Juga

Untuk itu, petisi tersebut meminta kesadaran masyarakat untuk menandatangani kain putih panjang berisi petisi “Tolak Penambangan Pasir GAK.” Aksi moral tersebut, dia mengatakan, untuk mengingatkan Pemerintah Provinsi Lampung yang semena-mena mengeluarkan izin tambang kepada PT LIP untuk menambang dan menyedot pasir hitam di perairan GAK selama ini.

Menurut dia, penambangan pasir GAK berdampak langsung pada masyarakat dan ekosistem laut. “Warga takut Gunung Anak Krakatau longsor lagi. Musibah dan bencana akan menimpa lagi, bila masih ada tambang pasir di gunung tersebut,” katanya.

Dia mengatakan, warga masih trauma dengan kejadian akhir tahun lalu. Gelombang tsunami Selat Sunda yang menghantam rumah warga di desa-desa sepanjang pesisir Kecamatan Rajabasa dan Pulau Sebesi.

Kapal tug boat dan tongkang Menhad I milik PT LIP kembali tiba di tengah perairan Pulau Sebesi, pada Sabtu (23/11). Kapal tersebut pada malam hari menyedot pasir hitam GAK. Warga Pulau Sebesi memergoki kapal tersebut dan memasang spanduk penolakan penambangan pasir tersebut pada Senin (25/11).

 Kapal milik PT LIP juga pernah datang di dekat perairan GAK pada Agustus 2019 lalu. Warga Pulau Sebesi kembali memergoki kapal tersebeut dan melakukan penggerebekan.  Setelah melakukan pembicaraan, akhirnya kapal tersebut berhasil diusir warga. 

Pada 22 Desember 2018 pukul 21.30 WIB, gelombang tsunami Selat Sunda melanda kawasan pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Ratusan rumah rusak porak poranda, dan ratusan nyawa warga yang bermukim di sepanjang pesisir meninggal, ribuan luka-luka.

Desa yang terdampak parah bencana tsunami yang diakibatkan dari longsornya GAK tersebut berada di Desa Kunjir dan Dewa Way Muli, sebagian warga Pulau Sebesi. Purpani (49 tahun), warga Desa Way Muli, mengatakan, saat ini warga yang terkena bencana tsunami mulai bangkit lagi, meski rumah-rumah yang rusak belum kembali dibangun.

“Sebagian besar warga yang rumahnya hancur masih tinggal di huntara (hunian sementara),” katanya kepada Republika, Senin (2/12). 

Dia mengatakan, warga Desa Way Muli tidak ingin terulang lagi kejadian yang untuk pertama kalinya tersebut pada masa yang akan datang. Untuk itu, warga sepakat menolak adanya kapal PT LIP yang menyedot pasir di perairan Pulau Sebesi dan GAK. 

Menurut dia, penyedotan pasir hitam GAK yang pernah terjadi beberapa tahun lalu di perairan GAK telah menimbulkan longsor GAK dan menyebabkan gelombang tsunami. Akhirnya, warga yang berdiam di pesisir terkena langsung dampaknya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement