Senin 02 Dec 2019 08:48 WIB

Tokoh Papua: Pemarginalan Rakyat Papua Perlu Diselesaikan

Hak ekonomi beberapa kabupaten di Papua itu semuanya orang imigran yang ambil alih.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah pembeli berjalan di Pasar Tradisional Tolikelek, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Sejumlah pembeli berjalan di Pasar Tradisional Tolikelek, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Papua, Samuel Tabuni, melihat selama ini orang asli Papua kerap termarjinalkan. Alasan tersebut salah satu yang menjadi penyebab  gerakan Papua merdeka dilakukan oleh sebagian rakyat Papua.

"Orang Papua itu marjinal terus. Hak politiknya tak terpenuhi, hak ekonomi macam di beberapa kabupaten di Papua itu semuanya orang imigran yang ambil alih," ujar Samuel melalui sambungan telepon, Ahad (1/12).

Baca Juga

Karena itu, kata dia, masyarakat asli Papua yang mengalami hal tersebut merasa terpinggirkan dan merasa hak-hak dasarnya tak diproteksi. Menurutnya, itu yang membuat mereka berpikir untuk lebih baik merdeka agar hak-haknya kembali daripada berada di Indonesia.

"Itu kalaupun orang-orang itu tidak masuk hutan, tidak terlibat dalam OPM, tapi dengan hal-hal itu muncul perasaan-perasaan untuk lebih bagus saya merdeka saja supaya hak-hak saya kembali," katanya.

Menurutnya, untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia dapat melakukan pembangunan yang mengintegrasikan hal penting yang berkaitan dengan orang asli Papua, seperti hak politik dan ekonomi. Ia mengatakan, pemerintah harus membuat orang asli Papua tak termarjinalkan di tanah dan daerahnya sendiri.

"Jangan kita bilang NKRI harga mati tapi buat mereka miskin di tanah sendiri. Itu kan tidak bisa. Kita manusia ini, manusia manapun tidak akan terima," jelas dia.

Di samping itu, anggota Ombudsman, Ahmad Su'adi, beberapa waktu lalu menyebutkan, pemerintah perlu segera mengirimkan dengan tepat sasaran perbaikan pelayanan publik kepada masyarakat bawah. Hal tersebut, menurut Ahmad, tidak terjadi selama ini. Menurutnya, kegagalan akan pemberian pelayanan publik tersebut bukan hanya kesalahan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Di samping itu, muliticultural policy juga ia sebut tidak bisa ditunda dan harus dilakukan. Jika tidak, makan akan terus terjadi potensi kerusuhan di Papua karena terjadi penyingkiran. Jadi, kata dia, proteksi terhadap orang asli bukan hanya dalam hal jabatan saja, tapi juga dari yang paling konkret.

Ia memberikan contoh kondisi di pasar. Jangan sampai pasar benar-benar dikuasai oleh pendatang. Masyarakat asli Papua harus mendapatkan bagian di sana. Jika kapasitasnya tidak memadai, maka harus diadakan pelatihan kepada mereka.

"Harus ada program inkluksi sosial. Jadi ada penyamarataan sumber daya manusia di sana, bahkan ada afirmasi," terang dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement