REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Kuasa hukum terdakwa V (19 tahun), dalam kasus video pornografi "Vina Garut", Asri Vidya Dewi tak terima dengan dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang perdana pada Kamis (28/11). Dalam sidang itu, tiga terdakwa dikenakan Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi, dengan ancaman 12 tahun penjara. JPU juga menggunakan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 8 junto Pasal 34 UU Nomor 4 Tahun 2008, dengan ancaman 10 tahun penjara.
Asri menilai, dakwaan itu tidak tepat dikenakan untuk kliennya. Pasalnya, ia menganggap, sejak awal kliennya merupakan korban dalam kasus itu.
"Jaksa itu harusnya punya hak diskresi, bukan hanya mendakwa. Tapi dia tak menggunakan hak itu," kata dia, saat dihubungi Republika, Jumat (29/11).
Ia menyebutkan, terdakwa V merupakan korban dari perkawinan anak. Pasalnya, saat menikah dengan suaminya ketika perempuan itu masih berusia sekitar 16-17 tahun. Tak hanya itu, lanjut dia, terdakwa V juga merupakan korban eksploitasi suami dan perdagangan manusia.
Kendati demikian, Asri menilai, polisi dan jaksa tetap memaksakan V menjadi tersangka, hingga akhirnya menjadi terdakwa. Ia menduga, hal itu dilakukan lantaran kasus video tersebut telah viral di media sosial.
Tak hanya itu, ia menilai, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut juga abai. Seharusnya Pemkab Garut mengawasi perkawinan anak. Apalagi ini perwakinan yang dilakukan oleh kliennya juga tidak dicatatkan.
"Ini masalah negara, di mana negara abai terhadap hak perempuan. Itu sangat saya sesalkan. Padahal saat November dan Desember ini kan diperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan," kata dia.
Namun, Asri tak akan tinggal diam menerima dakwaan JPU. Ia berencana menghadirkan saksi yang dapat meringankan dakwaan kepada kliennya.
"Kita akan datangkan saksi pidana yang dia punya perspektif soal relasi kuasa terhadap perempuan. Juga saksi fakta yang tahu terhadap pasal-pasal yang didakwakan," kata dia.