Kamis 28 Nov 2019 23:07 WIB

Presiden Dipilih MPR, Begini Respons Demokrat dan PKS

Demokrat dan PKS menilai wacana pemilihan presiden oleh MPR tak tepat.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Ali Mansur/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi pemilihan presiden langsung.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ilustrasi pemilihan presiden langsung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden (Pilpres) melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menuai kontroversi. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak wacana tersebut.  

Demokrat menilai, Pilpres langsung menjadi hak rakyat yang mutlak.  "Sikap Demokrat dengan tegas menolak Presiden kembali dipilih oleh MPR ya. Hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya ini tidak boleh dicabut dan dibatalkan," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Jansen Sitindaon saat dihubungi, Kamis (28/11).

Baca Juga

Demokrat berpandangan, MPR tak terlalu representatif dalam menentukan pilihan rakyat untuk pemimpinnya. Pemilihan melalui MPR dinilai Jansen lebih sekadar menjadi saluran suara pimpinan Partai Politik yang bercokol di parlemen.

"Kalau Presiden kembali dipilih MPR, yang menentukan itu ya hanya sembilan orang ketua umum partai di parlemen saja. Masak negeri berpenduduk 260 juta ini yang menentukan Presidennya hanya sembilan orang saja," kata Jansen.

Jansen mengatakan, memilih langsung Presiden merupakan salah satu hak politik yang hilang di era Orde Baru. Sehingga, pemilihan kembali melalui MPR dinilainya sebagai kemunduran demokrasi. "Masa kita mau mundur kebelakang lagi," ujar dia.

Adanya permasalahan dalam Pilpres langsung, menurut Jansen, memang harus diperbaiki. Namun, bukan berarti langsung mengembalikan pilpres ke MPR. Jansen yang juga menjadi caleg di Pilpres 2019 mengakui, perkara politik uang dan politik berbiaya tinggi terjadi di Pemilu langsung. Maka yang perlu diperbaiki adalah lembaga pengawasannya.  

"Kalau pemilu langsung dianggap membuat keadaan jadi panas seperti Pilpres kemarin misalnya, President Thresholdnya yang dikurangi sehingga bisa banyak muncul calon," ujar Jansen.

Dari segi sistem, Demokrat juga mengusulkan agar Pileg dan Pilpres kembali dipisah. Sehingga tensi masyarakat dapat ditekan. Demokrat tetap mendukung Pilpres dilakukan secara langsung.  

"Jadi kami Demokrat menolak, mengembalikan kedaulatan rakyat memilih Presiden ini ke tangan MPR. Kalau ada kekurangan mari kita perbaiki," ujar Jansen menegaskan.  

Sementara itu, PKS melihat jika pilpres kembali dipilih MPR RI sebagai wakil rakyat maka sejatinya menghilangkan kedaulatan rakyat itu sendiri dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden-nya.

"Kami tidak ingin oligarki elite politik mengambil hak rakyat dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden," ujar Ketua Departemen Politik Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Pipin Sopian, saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/11).

Lebih lanjut, Pipin menjelaskan, jika Presiden dan Wakil Presiden dipilih MPR berpotensi stabilitas negara mudah goyang. 

Hal itu dikarenakan jika dipilih MPR RI maka kemungkinan bisa diberhentikan oleh mereka di tengah jalan. Sehigga dikhawatirkan MPR RI bakal menjadi kekuatan politik yang sangat kuat seperti pada masa orde baru atau orba. 

Justru yang harus dilakukan adalah mengevaluasi pilpres apa yang menjadi kekuarangan bukan mengubah menjadi tidak langsung. 

"Yang perlu dilakukan saat ini adalah melakukan evaluasi menyeluruh dari Pilpres 2019 agar kecurangan dan politik uang berkurang. Selain itu penyelenggara Pilpres dan penegak hukum harus adil, tidak pandang bulu. Tidak boleh berpihak kepada salah satu calon," tutur Pipin. 

Selanjutnya, kata Pipin, untuk meminimalkan konfik horizontal di tengah-tengah masyarakat dan maraknya politik uang, pengawas pilpres harus tegas dan tidak memihak. 

Tidak hanya itu, kata dia, sanksi yang diberikan kepada pelaku atau pasangan calon yang melakukan politik uang harus tegas. Bahkan bisa sampai pencabutan status pencalonan. Sehingga dengan demikian, pilpres akan menghadirkan kenyamanan dan kepercayaan kepada rakyat dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden-nya.    

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendorong MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Salah satu implementasinya adalah presiden kembali dipilih oleh MPR.

"Tadi disampaikan para kiai yang hadir, pengurus PBNU, menyayangkan MPR mereduksi diri menjadi lembaga negara," kata Bamsoet, panggilan Bambang, saat silaturahim kebangsaan MPR ke Kantor PBNU Jakarta, Rabu (27/11).

Bamsoet mengatakan, PBNU ingin ketatanegaraan menjadi lebih rapi. Karena PBNU menilai, selama ini tidak ada lembaga tertinggi sehingga terjadi kerancuan dalam ketatanegaraan Indonesia.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj menyampaikan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Menurut dia, jika menimbang dan melihat mudarat dan manfaatnya, pemilihan presiden secara langsung berbiaya tinggi.

"Terutama biaya sosial, ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam," ujar Ketua Umum PBNU itu, saat menerima silaturahim pimpinan MPR ke Kantor PBNU Jakarta, Rabu (27/11).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement