REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin merespons pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj yang mengusulkan presiden kembali dipilih oleh MPR.
Kiai Ma'ruf menilai sebaiknya usulan tersebut dibahas terlebih dahulu oleh semua pihak. Ma'ruf menilai, akan lebih tepat jika berbagai usulan yang masuk dikaji secara matang.
"Dialogkan dulu mana yang lebih bagus, kita sedang mencari yang bagus kalau nanti lebih bagus yang sekarang ya kita pertahankan, tapi kalau ada alternatif yang lain yang bagus yah kita cari," ujar Kiai Ma'ruf saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (28/11).
Ia menilai, sebaiknya semua pihak tidak statis dalam menyikapi usulan-usulan yang muncul. Apalagi ini menyangkut sistem pemilihan yang dirasa cocok bagi bangsa Indonesia.
Menurutnya, yang terpenting semua dibahas secara matang untuk mendapat hasil terbaik bagi bangsa Indonesia. Termasuk saat ini usulan mengamandemen Undang-undang Dasar 1945.
"Sekarang sudah empat kali mau amandemen lagi, jadi dinamis berpikirnya mencari yang terbaik untuk bangsa ini. Saya tidak memberi pendapat dulu, kita bahas dulu," ujar Ma'ruf.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj menyampaikan aspirasi kiai NU soal pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Menurut dia, jika menimbang dan melihat mudarat dan manfaatnya, pemilihan presiden secara langsung berbiaya tinggi. "Terutama biaya sosial, ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam," ujar Ketua Umum PBNU itu, saat menerima silaturahim pimpinan MPR ke Kantor PBNU Jakarta, Rabu (27/11).
Dia mencontohkan peristiwa pada pemilihan presiden 2019 lalu. "Keadaan kita ini mendidih, panas, sangat-sangat mengkhawatirkan. Apakah setiap lima tahun harus seperti itu?" ujar Said Aqil.
Said mengatakan, saat musyawarah nasional (munas) di Pondok Pesantren Kempek Cirebon tahun 2012, para kiai dan ulama berpikir mengusulkan pemilihan presiden kembali kepada MPR. Hal itu demi kuatnya solidaritas persa tuan dan kesatuan Republik Indonesia.
Namun, Said menegaskan itu suara kiai dan para alim ulama, bukan suara Pengurus Tanfiziah (Dewan Pelaksana) PBNU. "Itu suara kiai-kiai, bukan tanfiziah. Kalau tanfiziah, namanya konferensi besar (konbes) di bawah muktamar. Di NU begitu," kata Said.
Said juga mengaku sama sekali tidak ada dorongan politik saat memutuskan hasil munas itu. Hal itu murni para kiai dan ulama yang memikirkan rakyat bangsa Indonesia.