Rabu 27 Nov 2019 23:23 WIB

Mengkonkretkan Fastabiqul Khairat

Maka arti fastabiqul khairat bukan sekadar berlomba-lomba dalam kebaikan

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Mengkonkretkan Fastabiqul Khairat
Mengkonkretkan Fastabiqul Khairat

Kalau kita bisa memaknakan semua zona kehidupan ini sebagai zona dakwah sekaligus sebagai zona kebaikan. Memperlakukan zona kebaikan ini disertai dengan spirit agama (Islam) sebagai rahmatan lil ‘alamin maka otak kita akan benderang. Hati kita akan sejuk dan jiwa kita akan dipenuhi oleh optimisme dan penuh rasa kemanusiaan dan persaudaraan.

Seorang muballigh Muhammadiyah pernah menjelaskan, kata khair artinya lebih baik atau unggul. Maka arti fastabiqul khairat bukan sekadar berlomba-lomba dalam kebaikan, tetapi berlomba-lombalah dalam memproduksi berbagai keunggulan. Dan siapa yang unggul, secara kualitas, maka dialah yang dapat memenangkan masa depan. Masa depan agamanya, masa depan umatnya, masa depan masyarakat dan masa depan bangsanya.

Sejak awal berdirinya sampai hari ini, Muhammadiyah bergerak dan berjuang pada lini atau pada khittah ini. Maka kalau orang Muhammadiyah mendirikan sekolah, itu harus sekolah unggul kalau mendirikan rumah sakit harus rumah sakit unggul, kalau mendirikan panti asuhan haruslah panti asuhan unggul, kalau mendirikan usaha ekonomi juga yang unggul.

Karena tradisi best practises sudah menjadi milik Muhammadiyah. Banyak kawasan Muhammadiyah di daerah-daerah yang membuktikan betapa pilihan dakwah dalam konteks untuk melayani, mengembangan dan memberdayakan masyarakat sebagai bentuk atau manifestasi spirit rahmatan lil’alamin dan mengkonkretkan fastabiqul khairat adalah pilihan yang tepat dan efektif.

Martino Sardi, seorangMuallaf dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, memberi gambaran yang lebih makro. Menyangkut kiprah agama-agama besar. “Agama-agama yang masuk ke Indonesia terutamanya Katolik dan Protestan, mereka memiliki misi,” kata Martino Sardi

Misi itu menurut Martino Sardi bisa dilihat dari dua segi. Yang pertama adalah misi mengembangkan agamanya, bisa dikatakan mencari pengikut, namun di lain pihak juga ada keinginan bukan hanya mencari pengikut tapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

Contohnya adalah sekolah, dengan sekolah mereka ingin membangun peradaban, mencerdaskan manusia. Lalu dengan tujuan ini, orang tidak mau melihat apa agamanya, semuanya dilayani. Contohnya sekolah Katolik tidak hanya untuk orang Katolik saja namun juga terbuka untuk semua. Juga di dalam Protestan, ini adalah sesuatu yang biasa untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan di agama kita, Islam, menamakan nilai kemanusiaan termasuk juga perintah Allah.

”Misalnya mereka membangun sekolah hingga pelosokpelosok. Yang jarang diekspose adalah di Jawa Barat misi Katolik itu sampai tembus ke pedalaman. Ada sekolah misalnya di daerah Sukabumi, Banten dan Serang yaitu Mardiyuana.

Mereka tahu itu sekolah Katolik tapi dulu itu muridnya Islam sebagian besar, guru-gurunya juga Muslim, tapi nama sekolahnya sekolah Katolik. Saat saya masih Katolik, saya termasuk yang mendukung itu karena nantinya misi agama itu tidak hanya sekadar menjadi misi agama saja tapi juga misi iman. Karena iman mencakupi penerapan ajaranajaran agama dalam praktiknya,” tambahnya.

Berbicara mengenai misi Agama-agama besar seperti Islam, Katolik dan Protestan yang terdiri atas macam-macam perkumpulan seperti GKI yang paling besarnya, tidak akan mencari-cari pengikut karena mereka sudah besar. Tapi gereja kecil-kecil seperti gereja Baptis, gereja Pantekosta, itu biasa mencari pengikut dan kadang kala mempengaruhi.

Namun kita tidak bisa memukul rata semuanya, karena tidak semuanya bergerak sama dengan yang lain. Gereja-gereja besar apalagi yang ada institusi internasionalnya justru lebih kepada misi kemanusiaan yang diutamakannya.

Seperti gereja kecil seperti gereja Baptis, di Indonesia itu ada ratusan jumlahnya tapi mereka kecil dan jumlahnya sedikit. Nah mereka biasanya yang cari pengikut kadang mendesak-desak. Karena mereka anggotanya cuma sedikit, lalu bagaimana bisa menghidupi jika tidak mencari lagi. ”Nah yang kecil-kecil ini yang repot,” tuturnya.

Ketua PWM Papua Barat, Dr H Mulyadi Djaya pun menjelaskan strategi dakwah yang efektif untuk Papua adalah dakwah kemanusiaan atau universal. Yaitu dakwah yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak tanpa melihat agama, suku, ras, dan asal usulnya. Di Tanah Pa pua, Provinsi Papua dan Papua Barat, ada empat PTM yaitu STIKOM Muhammadiyah di Jayapura, UMS Sorong, STKIP Muhammadiyah Sorong, dan STKIP Muhammadiyah Manokwari.

Mahasiswanya berjumlah 10.000 orang. Sekitar 40-70% adalah non Muslim dan putra asli Papua. Dengan sendirinya nilai-nilai Keislaman dan Kemuhammadiyahan yang tertuang dalam mata kuliah dan nuansa kampus yang Islami terinternalisasi dengan sendirinya ke dalam hati sanubari mahasiswa dan alumni pendidikan Muhammadiyah tersebut.

“Saya banyak berdialog dengan alumni dan masyarakat setempat bahwa dengan adanya perguruan tinggi Muhammadiyah mereka menjadi pintar, berkembang, maju dan mengenal Islam itu sendiri. Sebagai alumni, mereka berani dan rela berkorban membela keberadaan dan kemajuan asset Muhammadiyah. Saya kira model dakwah mainstream lisan/tulisan yang lebih menonjolkan simbol-simbol tidak efektif lagi,” kata Mulyadi.

Untuk memperkuat lagi dakwah kita di Papua maka penting mendirikan klinik kesehatan atau PKU. Di Papua sangat endemik penyakit malaria, TB, dan kusta. “Ini sudah saya sampaikan ke Majelis PKU PP Muhammadiyah tetapi belum direspon secara serius. Kalau dua AUM ini ada di Papua maka dakwah Islam akan lebih baik dan memajukan masyarakat Papua. Saat ini masyarakat Muslim yang tinggal di eks wilayah transmigrasi banyak berobat ke klinik milik missi Katolik, tentu sangat signifikan untuk pemurtadan dan kristeni sasi,” tambahnya.

Untuk mencegah pemurtadan atau kristenisasi di Papua, selain dengan menggiatkan AUM tadi yang perlu dilakukan adalah denga strategi trisula. Pertama, penguatan internal umat Islam itu sendiri melalui pendidikan dasar agama Islam yang baik. Kedua, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin yang banyak menjadi nelayan, pedagang asongan, petani, dan ojek. Ketiga, meningkatkan SDM Muslim putra asli Papua sebagai representatif UU Otsus Papua yang nantinya akan menduduki jabatan di Pemerintahan Daerah.

Yang terjadi di NTT mirip dengan yang terjadi di Papua. Mustain, Lc Ketua PWM NTT, mengungkapkan, hubungan antara umat Islam terutama Muhammadiyah dengan non Muslim saya kira sangat baik sekali di NTT. Hubungan kesehariannya dengan pemerintah juga baik. Karena pendidikan yang kita kembangkan di sini juga dalam rangka untuk memberikan konstribusi bagi khalayak umum.

Bahkan mahasiswa kami di sini itu mayoritas, 70 persen lebih, merupakan mahasiswa nonMuslim. Terutama di Universitas Muhammadiyah Kupang. Sampai saat ini tidak ada gesekan sama sekali. Wajar-wajar saja sesekali ada gejolak kecil-kecilan. Itu pun bukan dari anak non Muslim, tapi malah dari anakanak Muslim sendiri.

Menurut Mustain, “Kita ini hidup selalu dituntut berbuat baik kepada siapapun, kepada manusia. Rasulullah juga menyampaikan khairunnas anfauhum linnas. Jadi sebaik-baik orang itu kan yang paling bermanfaat kepada banyak orang. Muhammadiyah di sini memang di samping Muslim minoritas, kami hanya memberikan yang terbaik kepada masyarakat.”

Muhammadiyah dalam kondisi minoritas ini memilih hadir dalam kegiatan-kegiatan sosial. Jadi Muhammadiyah dalam memberikan kontribusi tidak memandang latar belakang manusianya, tidak pandang bulu. Ketika mengadakan kurban bakti sosial, semuanya mendapat bagian dari daging kurban yang disembelih Muhammadiyah, baik Muslim maupun non Muslim. Bahkan mereka ikut serta membantu dalam prosesi penyembelihan.

Drs Rustamadji, MSi Ketua STKIP Muhammadiyah Sorong (kini Unimuda) menjelaskan, daerah Islam minoritas memerlukan dakwah yang cerdas dan santun. Memperhatikan kearifan lokal dalam beramal dan menyemai kebaikan. Hasilnya akan dirasakan di waktu-waktu selanjutnya. Buktinya, walaupun Muhammadiyah di Sorong dari segi kuantitas itu kecil tapi AUMnya banyak. AUM yang dimiliki 20 TK Aisyiyah, 7 SD Muhammadiyah ditambah MI, SMP, SMA, SMK, bahkan sampai perguruan tinggi.

Di sebuah pulau namanya pulau Arar, kata Rustamaji, sudah ratusan tahun orang Islam ada di sana. Belum ada SMP apalagi SMA di sana, hanya ada SD di sana. Tambah Rustamaji, “ Setelah kami melihat, ternyata anak-anak lulusan SD dari sana, mereka enggan melanjutkan sekolah ke tempat yang lain. Karena mereka punya tingkat kekerabatan yang sangat tinggi dengan sesama warga di pulau itu. Mereka berat untuk meninggalkan pulau. Mau tidak mau kami harus berbuat dengan mendirikan SMP dan SMA Labschool STKIP Muhammadiyah Sorong.”

STKIP Muhammadiyah Sorong punya 1200 mahasiswa baru, 70% nya adalah orang Papua dan mereka beragama Kristen. Artinya apa? Muhammadiyah untuk semua, dan semua untuk Muhammadiyah. Dan Alhamdullillah semua saudara kita yang dari Papua menerima kita. Muhammadiyah juga menerima masyarakat Papua.

Jadi mereka tidak ada masalah. Bahkan tokoh-tokohnya seperti suster-suster dan pendeta-pendeta banyak yang kuliah di PTM. Akhirnya, walaupun di mana-mana tantangan Kristenisasi selalu ada, namun inilah yang akan terus membuat kita bergerak.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2016

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement