Selasa 26 Nov 2019 06:50 WIB

Ditolak Warga, Kapal Sedot Pasir Krakatau Kabur

Akibat sedot pasir, nelayan sulit mencari ikan.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Muhammad Hafil
Kapal Mehad 1 milik PT Lautan Indah Persada bersandar ditemgah laut sedang menyedot pasir hitam perairan Gunung Anak Krakatau, Senin (25/11).
Foto: Dok Warga Rajabasa Sebesi
Kapal Mehad 1 milik PT Lautan Indah Persada bersandar ditemgah laut sedang menyedot pasir hitam perairan Gunung Anak Krakatau, Senin (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID,  BANDAR LAMPUNG – Tekanan dari warga Kecamatan Rajabasa dan Pulau Sebesi bersama Walhi Lampung, membuat kapal sedot pasir Gunung Anak Krakatau (GAK) kabur, Senin (25/11) petang. Warga menolak aktivitas penambangan pasir hitam GAK yang berdampak kerusakan lingkungan dan ekosistem laut.

“Informasi dari warga Pulau Sebesi dan ketua HNSI di sana, kapal sedot pasir itu sudah kabur sekitar pukul lima sore tadi,” kata Yusroni Arlan, ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan kepada Republika, Senin (25/11).

Baca Juga

Menurut dia, bila kapal sedot yang bernama Mehad I milik PT Lautan Indah Persada (LIP) masih melakukan aktivitas penambangan (penyedotan) pasir hitam di perairan GAK dan Pulau Sebesi, warga akan melakukan aksi besar-besaran menolak dan mengusir kapal tersebut dari perairan tersebut.

Ia mengatakan, warga Kecamatan Rajabasa dan Pulau Sebesi bersama Walhi Lampung telah mendatangi kapal Mehad I PT LIP tersebut sejak Sabtu hingga Ahad (23-24/11). Warga menemukan aktivitas penambangan pasir hitam di tengah laut. Warga telah melakukan pertemuan dengan Direktur PT LIP Stephen.

Menurut dia, PT LIP beralasan telah memiliki izin tambang pasir di perairan tersebut. Namun, ketika warga dan Walhi mendesak soal Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pihak perusahaan tidak dapat menjelaskan detil. “Itu artinya, izin itu cacat hukum, karena tidak ada penjelasan mengenai Amdalnya,” ujar Arlan, yang juga tokoh masyarakat Desa Kunjir, Rajabasa.

Dalam keterangannya, Direktur PT LIP Stephen yang saat itu berada dalam kapal, tidak dapat menjelaskan perihal proses mendapatkan Amdal tambang pasir tersebut. Warga mendesak kepada siapa meminta izin amdal seperti pejabatnya, warga desa, aparat desa, dan lainnya. “Dia (Steven) tidak bisa menjelaskan,” ujarnya.

Menurut dia, izin penambangan pasir hitam di perairan GAK dan sekitarnya oleh gubernur Lampung dinilai cacat hukum dan perlu ditinjau lagi. Seharusnya izin tidak diberikan, karena aktivitas tambang pasir tersebut sangat merusak ekosistem laut dan merusak lingkungan. “Sehingga nelayan menjadi sulit mencari ikan lagi,” ujarnya.

PT LIP selaku pemilik Kapal Mehad I kapal penyedot pasir hitam perairan GAK, Pulau Sebesi, dan Pulau Sebuku dalam Kecamatan Rajabasa mulai bersandar di perairan tersebut, Sabtu (23/11). Kapal tersebut langsung melakukan aktivitas penyedotan pasir hitam. Warga Pulau Sebesi mendatangi kapal tersebut dan memasang spanduk penolakan aktivitas tambang pasir PT LIP pada kapal penyedot tersebut.

Warga setempat mendesak gubernur Lampung mencabut izin tambang PT LIP di perairan GAK, karena cacat hukum. Kepada wartawan, Senin (25/11), Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lampung Prihartono, PT LIP telah mengantongi izin dan dan masih berlaku hingga 26 Maret 2020.

Menurut dia, bila disetop maka pemprov akan dituntut PT LIP. Sehingga, ujar dia, menjadi dilema bagi pemprov saat ini. Dasar dari Pemprov Lampung yakni Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menyebutkan, masih memperbolehkan perusahaan itu beroperasi sampai masa izin usaha penambangannya berakhir.

Walhi Lampung mendesak gubernur Lampung berlaku tegas terhadap aktivitas penyedotan pasir di perairan GAK yang merusak lingkungan tersebut. Pasalnya, PT LIP masih ingin menyedot pasir di perairan GAK karena sudah mendapatkan izin penambangan. Menurut Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri, PT LIP merasa mempunyai izin untuk menyedot pasir tesrsebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement