Senin 25 Nov 2019 06:32 WIB

Wacana Pembubaran BNPT Dinilai tidak Tepat

Wacana pembubaran BNPT muncul dari kalangan Komisi III DPR.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Petugas kepolisian melakukan Simulasi Kegiatan Pelatihan Mitigasi Aksi Terorisme Integrative  Polri, TNI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (25/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
[ilustrasi] Petugas kepolisian melakukan Simulasi Kegiatan Pelatihan Mitigasi Aksi Terorisme Integrative Polri, TNI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (25/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai, rencana pembubaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak tepat. Hal yang ia anggap perlu dilakukan ialah evaluasi dan pembenahan terhadap kinerja BNPT agar tidak salah arah.

"Saya kira tidak tepat juga. Yang perlu dilakukan justru evaluasi dan pembenahan supaya kerja BNPT lebih optimal dan tidak salah arah," kata Fahmi melalui pesan singkat, Senin (25/11).

Baca Juga

Menurutnya, evaluasi dan pembenahan tersebut termasuk memperbaiki praktik-praktik penanggulangan. Penanggulangan mulai dari soal identifikasi sumber-sumber masalah dari hulu hingga hilir, potensi paparan, hingga resep untuk menyelesaikan sumber-sumber masalah itu.

"Sampai soal resepnya karena deradikalisasi maupun kontraradikalisasi bukan resep yang tepat," terangnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir menyebut Komisi III bakal menyoroti kinerja BNPT selama ini. Ia menilai, kinerja BNPT dalam melakukan pencegahan dini aksi terorisme belum cukup maksimal. Sebab, kata Adies, dalam beberapa waktu terakhir dua aksi teror terjadi di Tanah Air, dan BNPT selalu dianggap terlambat dalam bertindak.

Fahmi beberapa kali menyatakan pendapatnya, penyebab tindakan terorisme bukanlah paham radikal, melainkan kekerasan ekstrem. Akar persoalan kekerasan ekstrem itu ialah hilangnya harapan dan bagaimana mereka kemudian mereka dipertemkan dengan harapan yang keliru, palsu. Ditambah lagi dengan suplemen amarah, kebencian, dan dendam.

Ia menuturkan, harapan palsu itu menyodorkan obat yang memanipulasi dan menggiring orang-orang tersebut pada persepsi, mereka telah dijahati, diperlakukan tidak adil, dibodohi, bahkan dimiskinkan. Disebutkan pula, semua itu harus dibalas dan dilawan.

"Propaganda dan hasutan ini yang kemudian membuat mereka, lantas merasa kehadirannya di dunia kembali bermakna. Nah pemerintah, agama, dan lingkungan mestinya bisa mengambil bagian dari upaya memastikan selalu ada harapan untuk masyarakat," kata dia.

Ia menjelaskan, setiap orang berpotensi memiliki deprivasi relatifnya sendiri. Deprivasi relatif merupakan keadaan psikologis di mana seseorang merasakan ketidakpuasan yang subjektif pada keadaan diri dan kelompoknya di bandingkan dengan kelompok lain.

"Ada yang mampu mengelolanya, tapi tidak sedikit pula yang gagal. Soal ekonomi msalnya, kaya dan mapan bukan berarti mereka pasti jadi medioker, pragmatis bahkan oportunis. Tapi miskin juga bukan selalu berarti inferior, kecewa, galau, pesimis," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement