Senin 25 Nov 2019 05:53 WIB

Hindari Kebocoran, APBD DKI Mesti Dikawal

Jika tidak dikawal bisa rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan.

Fokus Wacana Alumni UI Nanny Zaenudin (kiri), Direktur Executive Letraa Yenny Sucipto (kedua kiri), Anggota DPRD DKI William A Sarana (ketiga kiri), dan Ketua Umum ASJB Indonesia Nanda Abraham (kedua dari kanan).
Fokus Wacana Alumni UI Nanny Zaenudin (kiri), Direktur Executive Letraa Yenny Sucipto (kedua kiri), Anggota DPRD DKI William A Sarana (ketiga kiri), dan Ketua Umum ASJB Indonesia Nanda Abraham (kedua dari kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan APBD DKI sempat menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Penganggaran yang bermasalah bukan tidak mungkin dilakukan dengan sengaja. Karena itu Pemprov dan DPRD DKI harus mampu memastikan tidak adanya kebocoran yang merugikan negara.

Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (Letraa) Yenny Sucipto dalam diskusi bertema "Selamatkan Ibu Kota" yang digelar Alumni SMA Jaringan Bersama Indonesia (ASJBI), di Jakarta, Ahad.

Baca Juga

"Kalau tidak sengaja menurut saya malah aneh. Karena ada tim anggaran yang tugasnya mereview dan menemukan program-program yang tidak konsisten," kata Yenny.

Yenny menyatakan hal itu sebagai respons adanya temuan anggaran janggal pengadaan lem aibon sebesar Rp 82 miliar yang belakangan sudah dikoreksi di DKI. Menurutnya, pola korupsi yang kerap terjadi di Indonesia sudah direncanakan dari awal. Temuan penganggaran yang bermasalah itu menguatkan dugaan perencanaan yang bermasalah pula.

Pola itu, Yenny mengatakan, sering ditemukan pada saat transisi pergantian anggota DPRD. Di DKI hal ini terjadi setelah anggota DPRD yang baru dilantik. Namun dia tidak mau menuding kejadian itu membuktikan adanya pelanggaran hukum yang berbuntut pidana.

Dia juga menyoroti lemahnya transparansi keuangan yang dilakukan Pemprov DKI. Padahal Pasal 391 ayat 1 dan 2 UU Pemda mewajibkan pemda untuk membangun sistem informasi pembangunan daerah dan pengelolaan keuangan daerah.

"Kalau kita melihat dasar BPK memberi WDP atau WTP itu didasari tiga faktor yaitu, standar pengendalian internal, administrasi dan ketidakpatuhan. Kalau ada salah satu diantara ketiga itu tidak terpenuhi maka bisa diasumsikan adanya kerugian negara," ujar eks Sekjen Fitra itu.

Yenny turut menyayangkan transparansi di DKI yang sekarang ini menurutnya mengalami kemunduran. "Permainan anggaran bukan hanya dari belanja. Bukan hanya karena mark up tetapi juga karena mark down. Umpamanya pendapatan pajak seharusnya Rp 600 miliar malah jadi Rp 400 miliar," ujarnya lagi.

Anggota DPRD DKI dari Fraksi PSI William A Sarana menyebut, pihaknya tidak hanya menemukan pengadaan lem aibon saja yang bermasalah. Dia mengatakan terdapat puluhan penganggaran yang tidak rasional.

Kendati begitu, William tidak mau mengungkapkan komponen-komponen anggaran yang dimaksud. "Saya bakal mempertanyakan pada saat rapat Banggar saja," ujarnya.

Dirinya juga tidak mempermasalahkan DPRD DKI bakal dikenakan sanksi tidak digaji selama 6 bulan asalkan penganggaran di DKI sesuai dengan peruntukannya.

Ketum ASJBI, Nanda Abraham menambahkan, permasalahan anggaran di DKI harus dituntaskan agar tidak dicurigai menjadi motif politik. Anggaran Rp 85 triliun untuk APBD DKI 2020 harus diperuntukkan sebesar-besarnya bagi rakyat. Bukan untuk motif politik penguasa. "Jika tidak dikawal bisa rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan," kata Nanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement