Selasa 26 Nov 2019 01:03 WIB

Keuangan Syariah Makin Dilirik

Meski keicl namun Keuangan syariah mulai tumbuh

Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
Foto: Republika.co.id
Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*

Harian Republika pada awal pekan lalu baru saja menggelar Anugerah Syariah Republika (ASR). ASR menjadi salah satu ajang apresiasi terhadap industri dan lembaga atas kontribusinya dalam memajukan ekonomi syariah. Penghargaan ini tak hanya diberikan kepada lembaga keuangan syariah tetapi juga lembaga filantropi dan perseorangan yang berjasa dalam pengembangan syariah di Indonesia.

Keuangan syariah kini semakin diminati, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam bertransaksi sesuai rambu-rambu agama. Produk-produk keuangan syariah pun semakin beragam.

Dulu saat pertama kali berkenalan dengan industri syariah, saya ingat betul keuangan syariah hanya berputar di bank syariah dan asuransi syariah. Kalaupun ada koperasi syariah, hanya segelintir saja pelakunya.

 

Akad yang dipakai pun baru murabahah, mudharabah dan ijarah. Baru pada akhir 2012, kalau tidak salah, industri syariah tengah memperjuangkan akad baru untuk pemilikan rumah, musyarakah mutanaqishah.

Pangsa pasar perbankan syariah pada 2012 pun hanya tiga sampai empat persen. Pada 2016, pangsa pasarnya di kisaran 4,6 persen. Hingga Mei 2019, pangsa pasar aset perbankan syariah sebesar 5,8 persen.

Meski pertumbuhannya terlihat sangat kecil, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa industri ini 'tumbuh'. Dibandingkan dengan industri konvensional yang lebih dulu ada, pertumbuhan syariah perlu diapresiasi. Ibarat hanya biji, kini syariah mulai berkecambah dan menggeliat memulai fase hidup.

Awalnya masih diragukan, hari ini banyak orang mulai berpaling. Bahkan, pemerintah pun mendukung pengembangan syariah dengan menerbitkan surat utang negara berbasis syariah alias sukuk. Dari 10 surat utang negara yang terbit pada tahun ini, setengahnya berbasis syariah.

Bank syariah disebut-sebut sangat tahan dengan krisis. Contohnya saja Bank Muamalat yang berhasil melalui krisis demi krisis yang menimpa negara. Pada 1998, bank syariah pertama di Indonesia itu berhasil melalui krisis ekonomi nasional. Bank Muamalat bertahan bahkan tanpa bantuan likuiditas dari pemerintah.

Sistem syariah yang diusung oleh Muamalat disebut-sebut sebagai salah satu penolong bank selamat dari guncangan. Seperti yang kita ketahui, sistem syariah mengharamkan aksi spekulasi yang disebut menjadi salah satu penyebab krisis.

Bank Muamalat memang tidak benar-benar tahan krisis, karena pada saat itu modal perseroan tergerus banyak. Namun, nasib perusahaan tidak sampai gulung tikar inilah yang disebut sebagai kebal krisis oleh banyak pengamat. Dengan sistem dan reglasi yang semakin baik, keuangan syariah tentu berkembang makin positif.

Tak hanya perbankan, hari ini juga kita bisa menemukan lembaga syariah lain, termasuk perusahaan teknologi keuangan (tekfin) syariah. Pasar modal pun telah menyesuaikan diri dengan perkembangan industri syariah dan menawarkan produk-produk yang sekiranya dapat ditawarkan kepada investor.

Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, keuangan syariah kembali diuji. Apakah industri mampu bertahan terhadap goncangan yang kini tengah terjadi?

Saya teringat ucapan seorang mantan direktur utama bank syariah pertama Indonesia. Dia meyakini industri syariah akan melebihi konvensional pada satu hari nanti. Meskipun terseok-seok, industri syariah akan mampu bertahan bahkan akan menggantikan sistem yang ada saat ini. "Ini hanya soal waktu," katanya yakin.

Sebuah produk akan tetap ada jika peminatnya ada. Industri syariah akan ada dan terus bertumbuh selama kita percaya dan mulai berpindah ke lembaga syariah. Tentu saja, lembaga yang sudah mendapat mandat/izin dari otoritas, bukan abal-abal.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement