Ahad 24 Nov 2019 00:30 WIB

'Makan Jangan Asal Makan', Sebuah Usaha Memerangi Stunting

Pemilihan makan yang benar bisa menjadi salah satu cara mengatasi stunting.

Dwi Murdaningsih
Foto: dokpri
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Siapa yang membaca judul di atas sambil bernyanyi? Ya, itu adalah  sepenggal lagu kartun Nussa dan Rara yang sering dinyanyikan oleh anak-anak.

Lagu itu memberi nasihat bagaimana adab makan di dalam Islam. Soal 'makan jangan asal makan' ini mungkin juga bisa diterapkan untuk menghadapi stunting yang belakangan banyak dibahas. Terutama dua pekan lalu saat diperingati hari kesehatan dunia.

Stunting memang masih menjadi hantu bagi masalah kesehatan di Indonesia. Penulis berpendapat pemilihan makan yang benar bisa menjadi salah satu cara mengatasi stunting. Syaratnya, semua orang di Indonesia menerapkan hal ini.

Makan memang tidak boleh asal sebab seribu hari pertama adalah masa-masa emas pertumbuhan anak. Makan yang benar adalah makan yang mencukupi kebutuhan nutrisi anak sesuai usianya. Makan tidak boleh asal kenyang tapi tanpa diimbangi dengan nutrisi yang dibutuhkan anak.

Memerangi stunting adalah PR kita semua. Sering kita dengar bagaimana saat ibu-ibu sedang berkumpul, mereka sering curhat "Aduh, anak aku susah makan", atau, "Duh, anak aku beratnya nggak nambah-nambah".

Susah makan atau berat badan anak yang seret bertambah memang musuh bagi ibu-ibu, termasuk saya. Ada yang menimpali 'Nggak masalah tak makan, asal ngemilnya banyak'. Ada pula yang bilang 'Nggak masalah berat nggak nambah-nambah asal anaknya sehat'.

Benarkah demikian? Bisa iya, bisa juga tidak, tapi untuk menilai status gizi anak tentu tidak bisa hanya feeling ibu. Dokter yang bisa menilai.

Setiap anak tentu memiliki kebiasaan masing-masing dan selera makan masing-masing. Ada anak yang memang makannya banyak, ada pula yang sedikit.

Saya ingat, salah satu edukasi yang diberikan oleh dokter Arifianto melalui akun instagramnya bahwa: orang tua yang menentukan apa yang masuk ke mulut anak, tapi anak yang menentukan jumlahnya.

Dari sini orang tua harus paham betul nutrisi apa yang dibutuhkan oleh anak. Misalnya, anak usia di bawah dua tahun apakah diberikan makanan yang kaya karbo, atau kaya protein atau kaya lemak?

Jujur saja, banyak pengetahuan tentang nutrisi yang baru saya ketahui bahkan ketika anak saya sudah berusia satu tahun lebih. Tapi tidak ada kata terlambat untuk terus belajar dan memperbaiki pengetahuan. Saya sungguh berterima kasih kepada para dokter yang dengan murah hati berbagi ilmu melalui media sosial.

Saat ini, memang sudah banyak dokter yang terbuka dengan ilmu. Mereka sering berbagi pengetahuan bahkan membuka sesi tanya jawab melalui akun media sosial instagram. Namun, tidak semua ibu bisa mendapatkan akses pengetahuan yang begitu mudah.

Barangkali, pemerintah memang perlu lebih memasifkan posyandu untuk juga berperan memberikan edukasi mengenai stunting dan cara pencegahannya. Di beberapa Posyandu menurut pengamatan penulis, memang sudah menaruh perhatian kepada anak-anak yang 'berpotensi stunting'.

Anak ini biasanya diberikan pengawasan khusus oleh bidan. Benar-benar dipantau peningkatan berat badan, status gizi dan tinggi badannya. Namun, alangkah baiknya Posyandu juga memberikan edukasi bahkan ketika ibu masih mengandung sehingga pengetahuannya langsung bisa dipraktikkan begitu anak lahir.

Tak hanya ibu, orang-orang terdekat dengan balita juga perlu mendapat edukasi tentang nutrisi. Jangan karena sayang lalu anak diberikan es krim atau permen, yang notabene ini adalah makanan yang nutrisinya tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Jangan karena sayang lalu anak sering diberikan jajan yang justru bisa berdampak anak menolak makanan utamanya karena sudah keburu kenyang.

melanjutkan nyanyian Nussa dan Rara: "Makan jangan asal makan, perut buncit langsung kenyang.....”

*) penulis adalah jurnalis republika.co,id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement