REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setara Institute melakukan riset longitudinal dalam 12 tahun terakhir terhadap pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan. Hasilnya, pelanggaran kebebasan beragama menyebar di seluruh 34 provinsi yang ada di Indonesia.
"34 tidak ada satu pun provinsi steril, semua provinsi menjadi lokus bagi pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan," ujar Direktur Riset Setara Institute Halili saat menyampaikan paparannya di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Ahad (24/11).
Menurut dia, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama pernah terjadi di semua provinsi. Dalam 12 tahun terakhir, ada 10 provinsi dengan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tertinggi.
Halili menyebutkan, Jawa Barat menjadi provinsi tertinggi dalam peristiwa intoleran di wilayahnya sebanyak 629. Kemudian disusul oleh DKI Jakarta sebanyak 291 peristiwa intoleran, Jawa Timur 270 peristiwa, Jawa Tengah 158 peristiwa, dan Aceh 121 peristiwa.
Lima provinsi selanjutnya dengan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama antara lain Sulawesi Selatan (112), Sumatra Utara (106), Sumatera Barat (104), Banten (90), dan Nusa Tenggara Barat (76). Akan tetapi, komposisi 10 provinsi dengan peristiwa tertinggi itu mengalami sedikit perubahan jika spektrum waktunya dipersempit menjadi lima tahun terakhir atau periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam lima tahun terakhir peristiwa pelanggaran kebebasan beragama, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masuk pada peringkat enam dengan 37 peristiwa intoleran. Sementara Nusa Tenggara Barat keluar dalam daftar 10 provinsi tertinggi peristiwa intoleran dalam lima tahun terakhir.
Halili menuturkan, data tersebut menegaskan bahwa pemerintah harus menempatkan daerah sebagai lokus strategis dalam konteks pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme. Melalui daerah, pemerintah dapat membangun pemerintahan dan tata kelola yang berbasis pada toleransi sebagai etika kolektif dalam tata kehidupan kebhinekaan.
Tentunya, lanjut dia, penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat bawah harus sesuai dengan dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dengan demikian, diperlukan penguatan aktor dan potensi-potensi lokal agar pemajuan toleransi dan pembinaan kerukunan dapat diakselerasi.
Sehingga, Halili mengatakan, radikalisme dapat dicegah dan diantisipasi sejak dini dari lingkup sosiap yang terkecil. Salah satu aktor strategis untuk itu yakni Forum Kerukunan Umat Berugama (FKUB).
"Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri harus memberikan perhatian khusus untuk penguatan aktor strategis tersebut," kata dia.