Jumat 22 Nov 2019 21:20 WIB

RAPBD DKI Molor, Kemendagri tak Beri Perpanjangan Waktu

Kemendagri sebut tidak ada undang-undang beri perpanjang waktu bagi RAPBD

Rep: Mimi Kartika / Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Syarifuddin di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (7/10).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Syarifuddin di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Syarifuddin menegaskan, Undang-Undang (UU) tidak mengatur perpanjangan waktu penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Tahapan penetapan APBD hingga menjadi peraturan daerah sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

"Jadi yang saya ingin katakan bahwa dalam peraturan perundang-undangan tidak pernah menyebutkan perpanjangan. Begitu waktunya menempuh yang lain maka prosesnya sudah menempuh cara yang lain," ujar Syarifuddin saat dihubungi, Jumat (22/11).

Diketahui DPRD DKI Jakarta menyampaikan surat kepada Kemendagri untuk meminta perpanjangan waktu pembahasan RAPBD 2020 hingga pertengahan Desember 2019 nanti. Padahal, batas waktu pengajuan RAPBD DKI Jakarta 2020 kepada Kemendagri jatuh pada 30 November 2019.

Sementara saat ini, DPRD dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI baru menyelesaikan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) di tingkat komisi. Sehingga masih membutuhkan waktu yang panjang sampai tahapan akhir menetapkan APBD.

Syarifuddin menjelaskan, Undang-Undang memberikan waktu baik kepala daerah atau eksekutif maupun DPRD sebagai legislatif menyusun hingga menetapkan APBD. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, diberikan waktu empat pekan untuk penetapan KUA-PPAS.

Dalam hal kepala daerah dan DPRD tidak menyepakati bersama rancangan KUA-PPAS, paling lama enam minggu sejak rancangan KUA-PPAS disampaikan kepada DPRD, kepala daerah menyampaikan Rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD. Rancangan perda itu berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan rancangan KUA-PPAS untuk dibahas dan disetujui bersama antata kepala daerah dan DPRD.

Kemudian, kepala daerah wajib mengajukan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD paling lambat 60 hari sebelum satu bulan tahun anggaran berakhir. DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan perda salam satu bulan itu dikenakan sanksi administratif.

"Pertanyaannya, pun berandai-andai kalau sampai 60 hari kerja belum juga disepakati. Karena APBD harus tetap berproses untuk kepentingan pelayanan kepada masyarakat maka aturan ketentuan yang ada itu sudah memerintahkan kepada kepala daerah untuk membentuk rancangan anggaran kepala daerah," jelas Syarifuddin.

Ia melanjutkan, kalau pemerintah daerah tidak menetapkan perda tentang APBD maka akan ada implikasinya terhadap daerah tersebut. Salah satu kemungkinannya, daerah itu tidak akan menerima dana insentif daerah (DID).

Sebab, kata dia, pemerintah daerah dianggap tidak disiplin dalam penetapan APBD. Maka, setiap pemerintah daerah berlomba-lomba menuntaskan perda APBD tepat waktu agar mendapatkan dana insentif tersebut sesuai Peraturan Menteri Keuangan.

Kementerian Keuangan membuat ketentuan baru mengenai dana insentif daerah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141 Tahun 2019 tertanggal 14 Oktober 2019. Kriteria utama yang dipertimbangkan dalam pengalokasian DID terdiri atas penetapan Perda APBD yang tepat waktu.

Selain itu, kriteria utama pertimbangan lainnya adalah perolehan Wajar Tanpa Batas (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, pelaksanaan e-government, dan ketersediaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Pada 2020, pemerintah telah menganggarkan DID sebesar Rp 15 triliun, meningkat 50 persen dibandingkan dengan 2019 yang mencapai Rp 10 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement