Pertanyaan:
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Kewajiban terhadap jenazah umat Islam pada dasarnya ada empat, yaitu memandikan, mengkafankan, menshalatkan dan memakamkan. Selain itu, bermacam-macam yang dilakukan umat Islam seperti; azan saat jenazah dimasukkan ke liang lahat, usai jenazah dimakamkan dan masih di area makam dibacakan tahlil dan talqin, ada juga acara lain lagi melepas jenazah diiringi doa bersama.
Terakhir kepada para pengantar jenazah diumumkan agar kembali ke rumah tempat tinggal almarhum untuk makan bersama. Kemudian malam pertama, kedua, ketiga hingga hari ke seribu di rumah almarhum diadakan acara tahlilan, yasinan dan oleh tuan rumah disediakan makanan. Apakah dibenarkan menurut Al-Qur’an dan Hadits semua pekerjaan selain empat macam kewajiban tersebut dan apa saja yang pantas dikerjakan usai jenazah dimakamkan?
Jawaban dan penjelasan Majelis Tarjih selaku pengasuh rubrik tanya jawab agama sangat kami harapkan. Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
H Alijasa Murni dkk, Pontianak, Kalimantan Barat
(disidangkan pada Jum‘at, 27 Shafar 1437 H / 11 Desember 2016 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh
Terima kasih atas pertanyaan yang telah bapak ajukan. Perlu diketahui, bahwa permasalahan jenazah ini sebelumnya telah dibahas oleh Majelis Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama secara terpisah pada jilid 1 dan 2. Namun, tidak ada salahnya jika kami sampaikan kembali untuk menjawab pertanyaan bapak. Pertanyaan yang bapak ajukan akan kami urutkan terlebih dahulu sebagai berikut:
Dalam Islam, kewajiban seorang muslim terhadap jenazah adalah memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya. Pahala yang dijanjikan oleh Allah SwT. sangat besar dalam pengurusan jenazah ini, sebagaimana Hadits Nabi saw.:
“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw beliau bersabda: Siapa saja yang menshalatkan jenazah, maka baginya pahala satu qirath dan siapa yang mengantarnya hingga jenazah itu diletakkan di liang kubur, maka baginya pahala dua qirath. Saya bertanya: Wahai Abu Hurairah, seperti apakah qirath itu? Ia menjawab: Yaitu seperti gunung Uhud” [HR. Muslim]
Kewajiban terhadap jenazah ini hukumnya fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang akan gugur apabila dikerjakan oleh sebagian umat Islam. Jika tidak ada yang mengerjakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosanya.
Adapun mengenai amalan-amalan lain sebagaimana diurutkan di atas, berikut ini kami uraikan penjelasan hukumnya:
Sebagaimana disebutkan di dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168, pelepasan jenazah oleh sebagian masyarakat dikenal dengan upacara pemberangkatan jenazah. Meskipun berbedabeda teknisnya, tetapi ada persamaannya, yaitu diadakan pidato atau sambutan baik mewakili keluarga, para takziah, bahkan kadang-kadang mewakili instansi pemerintah maupun swasta yang memiliki hubungan dengan orang yang meninggal atau dengan keluarganya.
Berkaitan dengan itu, Islam hanya mengatur empat hal, yaitu memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Persoalan upacara pemberangkatan tidak didapati nash yang melarang atau menganjurkan, sehingga dapat dikategorikan ke dalam perkara “maskut ‘anhu”, artinya diserahkan kepada masyarakat dengan batasan tidak dilakukan berlebihlebihan dan menjurus kepada peratapan keluarga (niyahah).
Mengenai doa pemberangkatan jenazah, perlu dipahami bahwa doa untuk jenazah sebenarnya telah ada pada shalat jenazah dan pada saat menguburkan. Oleh karena itu, meskipun tidak ada larangan yang tegas, sebaiknya doa pada saat pemberangkatan jenazah tidak perlu dilakukan.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ada keterangan sama sekali mengenai hal tersebut. Adapun adzan sendiri hanya disyariatkan sebagai panggilan untuk shalat, sehingga tidak tepat jika dilantunkan bagi jenazah yang telah gugur dari kewajiban shalat.
Talqin, seperti disebutkan pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 203, berasal dari kata “laqqana-yulaqqinu” yang secara bahasa berarti pengajaran, sedangkan menurut istilah bermakna ajaran atau mengajarkan seseorang yang sedang dalam perjalanan menuju maut atau kematian. Mentalqinkan mayit, terdapat keterangannya dalam Hadits Nabi saw:
“Dari Abu Sa’id Al-Khudriy [diriwayatkan] ia berkata, bahwa Nabi saw bersabda: Talqinkanlah (tuntunlah membaca) orang yang akan meninggal dunia (yang ada pada)mu dengan kata Laa Ilaaha illa Allaah” [HR. Muslim].
Dalam Hadits tersebut terdapat lafal “mautakum”, artinya orang yang akan meninggal, sehingga makna Hadits ini hanya berlaku kepada orang yang sebelum meninggal (sakaratulmaut) bukan setelah meninggal sebagaimana dipahami dan dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Maksud makan bersama di sini adalah undangan dari keluarga jenazah kepada masyarakat yang ikut mengiringi proses pemakaman untuk makan bersama setelah dikuburkannya jenazah. Amalan ini sama sekali tidak dituntunkan oleh Nabi saw, justru amalan tersebut dicela olehnya dan termasuk ke dalam ratapan (niyahah).
Namun apabila masyarakat bermaksud mengunjungi rumah duka setelah pemakaman, boleh saja dilakukan selama tidak menyusahkan keluarga jenazah. Oleh karena itu, jika keluarga jenazah ingin menjamu, sebenarnya yang diperintahkan untuk memberi makanan adalah sanak saudara atau tetangganya. Hal itu juga sebagai bentuk ta’ziyah terhadap keluarga jenazah yang sedang kesusahan.
Sebagaimana sebuah Hadits:
“Dari Abdullah ibn Ja’far [diriwayatkan] bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda: Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah dihinggapi perkara yang menyibukkan mereka” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].
Oleh karena itu, yang dianjurkan di sini adalah agar jamuan atau suguhan jangan menjadi beban keluarga jenazah, melainkan menjadi tanggung jawab sanak saudara atau para tetangga dekatnya. Hal ini juga seperti halnya yang terdapat pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 207.
Adapun amalan sesudah memakamkan jenazah adalah sebagai berikut:
“Dari ‘Usman bin Affan ra [diriwayatkan] bahwa Nabi saw apabila telah selesai mengubur jenazah, maka beliau berhenti/berdiri di dekat kubur itu dan berkata: Mohonkanlah ampun dan keteguhan hati bagi saudaramu ini karena ia sekarang sedang ditanya” [HR. Abu Dawud]
Dari Hadits ini dapat disimpulkan bahwa Nabi saw memerintahkan para sahabat yang hadir untuk mendoakan jenazah yang dikubur (tentu Nabi sendiri juga berdoa) dan mendoakan jenazah dapat dilakukan secara individual (perorangan) atau berjamaah. Di sisi lain dalam lafal Hadits tersebut dinyatakan “waqafa” yang dapat diartikan berhenti atau berdiri, sehingga berdoa dapat dilakukan secara berdiri maupun duduk. Dengan demikian, amalan yang dilakukan setelah pemakaman jenazah adalah mendoakan jenazah, bukan mentalqin jenazah.
b. Takziah
Sebagaimana disebutkan dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 168, takziah berasal dari kata “‘azza – ya‘izzu” yang berarti sabar, sedangkan takziah berarti menyabarkan. Maksud takziah ialah menyabarkan orang yang tertimpa musibah yang menimpa keluarga yang didatangi itu.
Takziah tersebut dengan maksud menghibur dan memberikan nasihat kesabaran kepada keluarga yang ditinggal mati, jangan sampai merepotkan. Jika mendatangi keluarga jenazah hendaknya meringankan bebannya karena sedang tertimpa musibah. Bagi tetangga dekat, seyogyanya pada hari-hari berkabung dapat membuatkan makanan untuk keluarga jenazah, sebagaimana Hadits riwayat Abu Dawud di atas.
Adapun waktu takziyah, sebenarnya tidak dibatasi hanya sampai tiga hari, kapan saja boleh mengucapkannya apabila ada kegunaannya. Namun masa berduka atau berkabung keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya adalah 3 hari. Hal ini berdasarkan bahwa Rasulullah saw pernah bertakziah setelah lebih dari tiga hari, seperti yang diberitakan dalam Hadits riwayat Ahmad dengan sanad sahih sesuai syarat Muslim:
“Dari Abdullah bin Ja’far [diriwayatkan] , bahwa Nabi saw menunda untuk menjenguk keluarga Ja’far setelah tiga hari. Ketika beliau mendatangi keluarga Ja’far, beliau berkata: Janganlah kalian menangisi saudaraku sesudah hari ini. Kemudian ia berkata, panggillah anakanak saudaraku itu. Kemudian didatangkanlah kami seperti seekor unggas. Beliau berkata, Datangkanlah kepadaku tukang cukur. Kemudian didatangkanlah tukang cukur kepada beliau, maka beliau memerintahkannya mencukur rambut kepala kami” [HR. Ahmad].
Pada buku Ta n y a J a w a b Agama Jilid 2 halaman 173, dijelaskan bahwa tidak dijumpai ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang memerintahkan untuk melakukan tahlilan setelah 1, 2, 3, 7, 40 bahkan 1000 hari setelah seseorang meninggal dunia. Dalam mengamalkan ajaran agama, umat Islam semestinya mengacu pada Hadits berikut:
“Dari ‘Aisyah ra [diriwayatkan] ia berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak” [HR. Muslim]. Berdasarkan dari Hadits di atas, tahlilan dan yasinan tidak ada dalil yang memerintahkannya, sehingga tidak perlu untuk dilaksanakan.
Di sisi lain, perbuatan tersebut cenderung masuk ke dalam ratapan (niyahah), meskipun hanya berkumpul. Apalagi di sebagian masyarakat, ada yang menambahkan dengan memberikan makanan, bahkan uang, sehingga justru memberatkan keluarga jenazah. Nabi saw sangat mencela perbuatan ini, beliau bersabda:
“Dari Abu Malikal – Asy’ari [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. bersabda: Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membanggabanggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah). Lalu beliau bersabda: Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” [HR. Muslim].
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16-17 Tahun 2017