REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mengimbau para pengguna rokok elektrik atau vape untuk tidak menggunakan produk dari pasar gelap. APVI meminta masyarakat untuk mengutamakan cairan vape atau likuid yang resmi dan memiliki pita cukai.
"Kami mendorong konsumen untuk membeli produk vape hanya melalui jalur resmi. Jangan memberi dari yang sumbernya dari black market," kata Ketua APVI, Aryo Andrianto dalam keterangannya, Kamis (21/11).
Ia menjelaskan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan juga telah mewajibkan semua produk vape agar bebas dari bahan-bahan narkotika dan psikotropika.
Pemerintah, dikatakan Aryo, juga mengharuskan pemilik produk untuk setuju bahwa setiap pelanggaran akan berakibat pada pencabutan penerbitan pita cukai. Dengan kata lain, produk tersebut akan dianggap ilegal.
Peredaran produk vape dari pasar gelap juga secara langsung merugikan seluruh industri rokok elektrik dan menciptakan stigma yang keliru di masyarakat.
Di Indonesia, kewajiban untuk memasang pita cukai pada vape dan produk tembakau alternatif lainnya telah diterapkan untuk menghindari dan meminimalisasikan distribusi produk vape ilegal.
Aryo mengatakan, bahwa asosiasi sangat menghargai upaya yang dilakukan oleh pemerintah ini dan konsistensi sangat penting guna menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan mendukung pertumbuhan industri.
“Pada 2018 sendiri, industri rokok elektrik menyumbang Rp 106,6 juta dari cukai. Kami optimis bahwa pemerintah akan menyambut baik kontribusi ini dan seluruh pihak akan terus mendukung pertumbuhan industri rokok elektrik," katanya.
Imbauan tersebut sekaligus menyikapi temuan terbaru oleh Pusat untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS) yang menemukan bahwa pasien yang dilaporkan mengalami penyakit paru-paru akibat menggunakan produk vaping ilegal.
Para pasien tersebut diketahui merupakan membeli produk-produk vape dari sumber-sumber tidak resmi. Seperti misalnya teman, pedagang gelap, atau dari pedagang jalanan.
CDC menemukan diantara 867 pasien yang menjadi pengguna vape, sebanyak 86 persen di antaranya dilaporkan menggunakan vape yang mengandung tetrahydrocannabinol (THC) atau ekstrak ganja.
Merek yang paling banyak dilaporkan dan populer justru justru merupakan produk dari pasar gelap. Melihat itu, otoritas kesehatan AS terus memerangi pelaku produk vaping ilegal, apalagi dengan ditemukannya bahwa tidak ada produk atau bahan legal manapun yang telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit yang dikaitkan dengan vape.
Praktisi kesehatan Indonesia, dr. Arifandi Sanjaya, berpendapat, kasus tersebut karena penyalahgunaan bahan dasar dari vape itu sendiri. Menurut dia, hal serupa tak akan terjadi di Indonesia karena bahan-bahan vape yang legal pasti aman.