REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Menteri Agama (Menag) RI, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi mengungkapkan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan seseorang mudah terpapar radikalisme. Beberapa di antaranya akibat masalah ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
"Penyebab pertama, karena ekonomi. Kemiskinan mendorong seseorang nekat melakukan tindakan di luar hukum," kata Fachrul saat memberikan kuliah tamu di UIN Malang, Kamis (21/11).
Faktor penyebab selanjutnya, yakni minimnya pendidikan pada seseorang. Individu terkait memiliki bacaan yang terbatas dan pemahaman yang keliru. Hal ini kemudian akan berdampak pada kekeliruan dalam memandang masalah agama.
"Karena cara belajarnya tidak tepat, dia hanya mencari informasi di dunia maya sehingga menafsirkan ayat tanpa ilmu yang memadai," jelasnya.
Adapun definisi radikalisme, Fachrul mencoba mengutip pandangan berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Radikalisme merupakan sebuah pandangan seseorang yang hendak melakukan perubahan secara total dan revolusioner. Mereka ingin menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui aksi kekerasan.
Fachrul mengungkapkan, terdapat empat ciri seseorang terpapar radikalisme. Beberapa di antaranya bersikap intoleran terhadap orang yang berbeda pendapat. Menerapkan konsep mengkafirkan pihak lain dengan mudahnya.
"Memaksakan kehendak dengan berbagai dalil dan menggunakan cara kekerasan," terangnya.
Dari penjelasan tersebut, maka Fachrul menegaskan, Kemenag memiliki paham serupa dengan BNPT. "Kami juga memahami pro kontra di dalamnya sehingga memunculkan ekstrimisme," tambahnya.
Untuk menangkal radikalisme, Fachrul menilai, pemahaman masyarakat dengan pendidikan termasuk melalui keislaman harus ditingkatkan. Semakin luas pemahaman seseorang, maka kebijakannya dalam bermasyarakat kian baik. Wawasan keagamaan juga harus sesuai dengan nilai kebangsaan.
Selanjutnya, merawat moderasi beragama pada setiap individu. Fachrul menegaskan, langkah ini lebih menitikberatkan pada cara beragama. Sebab, agama pada dasarnya telah moderat.
"Lalu berikutnya menginternalisasi nilai-nilai empat pilar kebangsaan di dalam aktivitas keseharian," tambahnya.
Motivator dari Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) memberikan materi Deradikalisme dan nasionalisme kepada sejumlah siswa di SMK Negeri 35 Jakarta , Jumat (18/9).
PNS tak boleh terpapar radikalisme
Fachrul menegaskan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh terpapar radikalisme. Jika menemukan PNS dengan radikalisme, maka pimpinan lembaga atau instansi terkait tidak boleh mendiamkan.
"Kita tidak ingin ada musuh dalam selimut. Yang ingin merusak keutuhan bangsa kita," kata Fachrul saat memberikan kuliah tamu di UIN Malang, Kamis (21/11).
Fachrul menerangkan, 11 kementerian dan lembaga negara sebelumnya telah menyepakati untuk menangkal radikalisme di instansi masing-masing. Keputusan bersama ini ditunjukkan agar PNS benar-benar terbebas dari pengaruh radikalisme. PNS harus menjadi garda terdepan dalam menangkap radikalisme di masyarakat.
Untuk menguatkan keputusan bersama tersebut, Fachrul mengatakan, setiap kementerian/lembaga akan dibentuk Satuan Tugas (Satgas). Tim ini bertugas untuk menampung laporan adanya indikasi radikalisme pada PNS. Jika terbukti, maka PNS terkait akan dipanggil pimpinannya terlebih dahulu.
"Enggak diapa-apain, kita kasih nasihat. Kalau enggak bisa lagi, ya tentu saja ada sanksinya," tegas Fachrul.
Fachrul berpendapat, indikasi radikalisme pada PNS sebenarnya dapat dilakukan sejak tahap pertama penerimaan. Sisi nasionalisme seseorang dapat dilihat pada tahap wawancara. Menurutnya, sistem ini wajar karena setiap penerimaan pegawai pasti akan melalui tahapan tersebut.
Menurut Fachrul, upaya penangkalan radikalisme pada PNS sesungguhnya tidak lepas dari kondisi saat ini. Indonesia tengah menghadapi tantangan dan ancaman radikalisme yang nyata. Ia menyebut, terdapat pihak yang ingin menghapus dan mengubah dasar-dasar negara Indonesia.
"Kondisi ini tidak boleh dibiarkan, harus kita lawan radikalisme dan tangkal ekstrimisme," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengakui adanya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terpapar radikalisme. Informasi tentang hal itu sudah disampaikan BNPT kepada Kementerian PANRB untuk ditindaklanjuti.
"BNPT kan memiliki informasi yang sangat mendalam mengenai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan radikalisme yang negatif. Sekali lagi ini saya tekankan adalah radikalisme yang negatif," kata Sekretaris Kementerian PANRB, Dwi Wahyu Atmaji usai menghadiri acara penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 lembaga negara soal penangkalan radikalisme pada ASN, Selasa (12/11).
Dwi menyampaikan, Kementerian PANRB terbuka atas masukan siapa saja. Termasuk BNPT yang melaporkan radikalisme pada ASN. Walau begitu, ia tak bisa mempublikasikan data BNPT karena menyangkut tugas intelijen.
"Saya tidak bisa ungkapkan seluruhnya disini, tapi memang sudah ada gerakan-gerakan di lingkungan ASN dan BUMN yang perlu kita waspadai," ujarnya.
Dwi menyatakan, jika ada ASN terbukti terpapar paham radikalisme maka akan dijatuhi sanksi sesuai porsi kesalahannya.
"Kami ada mekanismenya untuk sanksi termasuk tingkatannya ada ringan, sedang, berat. Untuk penjatuhan sanksinya dilihat kesalahannya sampai dimana," ucapnya.
Capim KPK dites radikalisme.