Rabu 20 Nov 2019 10:02 WIB

MRT Bangun TOD Pertama di Dukuh Atas

Dukuh Atas terkoneksi dengan beragam intermoda transportasi tak hanya MRT.

Warga menaiki kereta MRT di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Senin (5/8).
Foto: Republika/Prayogi
Warga menaiki kereta MRT di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Senin (5/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT MRT Jakarta mengembangkan Transit Oriented Development (TOD) pertama di Dukuh Atas karena dinilai yang paling siap. Secara keseluruhan MRT akan membangun lima TOD di Jakarta.

“Yang paling penting dengan PRK dan Pergub, kami bangun satu kawasan Dukuh Atas jadi pionir kita. Kita awali dengan area Terowongan Kendal, kemudian secara paralel di kawasan Istora Senayang kawasan untuk TOD yang kedua karena ini pusat kota, juga melakukan integrasi ASEAN dan Blok M," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi MRT Jakarta Tuhiyat, Rabu (20/11).

Baca Juga

Selain itu, Dukuh Atas sudah terintegrasi antarmoda, mulai dari kereta rel listrik (KRL), Transjakarta, Kereta Bandara dan MRT, katanya. Pembangunan itu, di antaranya pengembangan kawasan yang padat, penyediaan rumah terjangkau, jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, optimasi lahan untuk fungsi perumahan dan transit, area tepian air sebagai ruang publik, interkoneksi transit, dan area transisi menuju KCB Menteng.

Dengan pembatasan ruang gerak kendaraan bermotor, diyakini bisa mendorong pertumbuhan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda. Serta penyediaan ruang terbuka hijau untuk meningkatkan perbaikan kualitas lingkungan.

Rinciannya, yakni alih fungsi terowongan Jalan Kendal sebagai area pedestrian, penyediaan LayBay Transjakarta dan penataan angkutan daring, mendorong pelaku usaha retail bekeja sama dengan UMKM, mempercantik kawasan dengan penataan penerangan dan pengecatan mural serta ruang baca Jakarta ke arah perpustakaan digital atau “Digital Library”.

Potensi pendapatan dari lima kawasan TOD sendiri, yakni Rp 242 triliun (16,8 miliar dolar AS) per tahun. Potensi pendapatan dari parkir bisa mencapai Rp 8,3 triliun dengan membuat 153.776 tempat parkir.

Selain itu, terdapat potensi 34.047 unit hunian terjangkau di kawasan sekitar MRT, penyerapan 639.380 tenaga kerja, 21 hektar area publik, 73,9 hektare taman dan ruang terbuka hijau, 149,1 kilometer area pejalan kaki, dan 56.854 meter persegi area sisi sungai.

Pakar Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono Wibowo mengatakan pembangunan TOD akan maksimal apabila ada dukungan pemda. Terutama dalam penyediaan park and ride, penyesuaian tarif parkir lebih mahal untuk di sekitar stasiun serta kebijakan land capturing atau land value capture.

Terkait land-capturing, menurut dia, selama ini belum ada regulasi bahwa kenaikan ekonomis harga tanah di kawasan moda transportasi yang dibangun itu masuk ke operator. “Jadi begini kawasan Sudirman waktu itu (sebelum MRT) sewanya katakanlah per bulan Rp 100 begitu ada MRT, sewa semakin mahal Rp 300. Pemilik lahan untung Rp 200, seharusnya itu masuk ke pengelola MRT,” katanya.

Selain itu menurut dia, TOD yang berhasil adalah TOD yang menimbulkan ketergantungan. Caranya dengan memaksimalkan ruang-ruang di stasiun menjadi ruang komersial yang dibutuhkan masyarakat, sehingga masyarakat tidak perlu keluar dari stasiun untuk membeli kebutuhan tersebut atau mereka hanya perlu ke stasiun untuk memenuhi kebutuhannya.

Tempat-tempat seperti mal, sekolah dan perumahan dibangun paling jauh 800 meter dari stasiun dan dibuat akses langsung.

“Ada ketergantungan sangat tinggi dari masyarakat dengan angkutan massal tersebut. Orang yang tinggal di daerah situ sangat tergantung, mungkin tidak perlu keluar stasiun semua kebutuhan sudah ada,” katanya.

Terlebih, bagi pemilik kendaraan yang rumahnya dekat dengan stasiun dikenakan pajak lebih tinggi, selain itu sedikitnya tempat parkir di kawasan TOD, efektif membuat orang untuk tidak mengendarai mobil pribadi dan memilih naik MRT.

Selain mengurangi kemacetan secara signifikan karena penurunan jumlah pengguna kendaraan pribadi, efek positif dari TOD adalah pendapatan dari non-tiket bisa tumbuh dan bahkan melampaui pendapatan dari tiket. “MRT tidak bisa mengandalkan 100 persen dari tiket, MRT Singapura saja penghasilan tiket dan tambahan dari iklan, gerai di stasiun baru menutupi 70-80 persen dari biaya operasional,” katanya.

Untuk kondisi MRT Jakarta, dia berpendapat, masih banyaknya lahan parkir, sehingga masih ada opsi bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Karena itu penyesuaian tarif parkir perlu dilakukan serta kebijakan Pemprov DKI lainnya agar masyarakat beralih dari menaiki kendaraan pribadi ke MRT.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement