SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan pengantar dalam Konsolidasi Nasional Pimpinan Muhammadiyah se-Indonesia di Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Senin (18/11).
Konsolidasi Nasional dilaksanakan dalam rangka memperkuat langkah persyarikatan ke depan serta dalam rangka menjelang Resepsi Milad ke-107 Muhammadiyah dan Muktamar ke-48 yang akan datang.
Dalam pantauan Suara Muhammadiyah, Konsolidasi Nasional dihadiri jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah di antaranya Anwar Abbas, Dadang Kahmad, Busyro Muqoddas, Haedar Nashir, Muhadjir Effendy, Agung Danarto, Godwill Zubir, Agus Taufiqurrahman, Syafiq A Mughni, Suyatno, Dahlan Rais, dan Siti Noordjannah Djohantini.
Mengawali Konsolidasi Nasional, Haedar Nashir mengajak para peserta yang merupakan perwakilan dari pimpinan wilayah dan para rektor perguruan tinggi Muhamamdiyah untuk bersama mendoakan kesembuhan Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas. Dalam Konsolidasi Nasional kali ini Yunahar Ilyas belum dapat hadir karena sedang dalam perawatan di RS Sardjito Yogyakarta.
Haedar mengungkapkan sejauh ini Muhammadiyah telah melakukan gerak strategis dan melakukan akselerasi yang menjadi modal cukup penting. “Kita cukup bergembira berbagai amal usaha tumbuh baik sampai pada fase peningkatan kualitas,” tutur Haedar.
Haedar mengapresiasi sinergi yang dilakukan antar-Amal Usaha bahkan antar-wilayah, majelis, dan lembaga yang cukup baik. “Juga peran untuk pelayanan fungsi-fungsi Al-Ma’un, filantrofi, dan gerakan sosial kita juga semakin bisa dirasakan oleh masyarakat,” kata dia.
Begitu pula peran internasionalisasi Muhammadiyah semakin berkembang, meneruskan dari periode sebelumnya. Haedar menyebut beberapa hal yang perlu ditingkatkan Muhammadiyah secara keseluruhan.
“Dalam gerak persyarikatan kita perlu meningkatkan gerak kolektif kita, konsolidasi, baik di pusat, wilayah, daerah, cabang sampai ranting,” kata Haedar.
Pertama, meningkatkan dakwah Muhamamdiyah di media sosial. Menurut Haedar meskipun Muhamamdiyah sudah masuk arena ini, tetapi masih bersifat sporadis. Muhammadiyah belum dapat menyebarluaskan pikiran-pikiran besar Muhammadiyah dan pikiran-pikiran keagamaan yang sangat kokoh di Muhammadiyah ke media baru ini.
Kedua, terkait kehidupan politik bangsa. “Kira-kira hampir setahun kita ada dalam suasana cukup hangat sampai ke agak memanas dampak dari Pilpres dan Pemilu 2019, yang bukan hanya melanda kita Muhammadiyah, tetapi juga hampir semua komponen masyarakat,” ungkap Haedar. Muhammadiyah perlu betul-betul menjaga sebagaimana koridor kepribadian dan khittah.
Dalam konteks organisasi, Haedar menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi agenda strategis Muhammadiyah. Di antaranya bagaimana penyebarluasan paham Islam dalam Muhammadiyah yang merujuk pada manhaj tarjih dan pemikiran resmi Muhammadiyah.
“Di samping menjadi pedoman acuan bagi internal kita, tapi juga perlu disebarluaskan menjadi alam pikiran dan panduan untuk umat dan bangsa atau masyarkat luas,” katanya. Sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai pondasi, sumber nilai, bingkai, alam pikiran bahkan cita-cita.
Muhamamdiyah, kata Haedar, mempunyai pandangan Islam yang cukup kokoh dengan merujuk Al-Qur’an dan Sunnah juga perlu memandang Islam dengan Bayani, Burhani, dan Irfani. Serta perlu memperkaya pemikiran nilai-nilai Islam agar tidak terbawa arus ke kiri yang cenderung liberal-sekuler ataupun ke kanan yang sangat puritan-militan.
“Jika kader Muhamamdiyah, warga Muhammadiyah tidak memiliki referensi yang kaya tentang nilai-nilai Islam maka kita tidak akan menjadi pembawa alternatif dan pemberi solusi di atas lalu lintas pemikiran yang beragam,” tandasnya.
Kemudian dalam konteks organisasi, Haedar berharap agar memperkuat dalam beberapa aspek. Seperti mobilisasi potensi anggota, penguatan pranata kelembagaan, gerakan dakwah komunitas, kaderisasi, pengembangan AUM, dan konsolidasi internal yang mempunyai dampak langsung bagi Cabang dan Ranting termasuk jamaah.
Terkait peran keummatan, kata Haedar, bagaimana dalam beragama di samping menciptakan kesalihan sebagai seorang muslim, juga menyampaikan kesalihan ke orang banyak. “Biarpun atribut keagamaan kita kelihatan sangat kental keislamannya, tapi jika kesalihan individual tidak berbanding luruh dengan kesalihan sosial orang tidak akan mempunyai penghormatan kepada kita umat Islam,” kata Haedar.
Oleh karena itu, masih menurut Haedar, umat Islam perlu memperkuat ekonomi umat dan memberdayakan umat. Disini perlu kepeloporan Muhammadiyah.
“Majelis Ekonomi perlu memikirkan ini, gerak ekonomi di Muhammadiyah juga satu hal, tapi memikirkan bagaimana kita mempunyai blueprint tentang pengembangan ekonomi umat yang realistik, bisa diterapkan setahap demi setahap tapi masif. Ini menjadi keperluan kita agar tidak cukup bicara ekonomi dalam tataran yang sifatnya bombastik-hipotik, dalam level yang sifatnya syar’i tetapi ke hal yang kongkrit dan aktual bisa memberdayakan ekonomi umat,” ungkapnya.
Selanjutnya Haedar memaparkan tentang pentingnya peran moderasi Islam sebagaimana wasathiyatul Islam yang telah menjadi komitmen kolektif dalam Pesan Bogor (Bogor Message) yang digagas Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) saat itu Prof Dr Din Syamsuddin, MA. “Tentu Muhammadiyah mempunyai karakter yang khas, dimana wasathiyah menjadi bagian dari Islam berkemajuan, dan ini perlu juga dirumuskan pemikiran-pemikiran dari kita,” pungkasnya. (Riz)