Senin 18 Nov 2019 16:12 WIB

Mercuri Masih Mengancam Sunda Kecil

Penambang yang terpapar merkuri rata-rata sudah di ambang batas.

Pertambangan (ilustrasi)
Pertambangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Tujuh warga di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat terpapar bahan kimia merkuri berat. Mereka yang terpapar itu merupakan penambang liar yang melakukan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di pegunungan Sekotong, Lombok Barat.

Sungguh miris melihat masih maraknya penggunaan bahan kimia berbahaya itu di atas tanah Sunda Kecil. Para penambang yang terpapar merkuri ini diketahui setelah Universitas Indonesia (UI) melakukan penelitian terhadap para penambang pada tahun 2016 dan hasilnya baru diketahui pada tahun 2017. "Mereka yang terpapar merkuri ini rata-rata sudah di ambang batas," kata Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr Nurhandini Eka Dewi.

Baca Juga

Ia menyayangkan, mereka yang terpapar merkuri ini usianya masih produktif yang kondisinya terpaksa menurun akibat terpapar merkuri. Eka juga khawatir dampak dari merkuri pada ibu hamil yang bisa membuat anak yang dilahirkan mengalami cacat, seperti kasus Minamata di Jepang.

"Inilah yang kita khawatirkan dampaknya. Karena selain berdampak pada manusia, lingkungan di Sekotong saat ini juga sudah ikut tercemar," ucap Eka.

Karena itu, untuk mencegah dampak yang lebih buruk, pihaknya telah meminta agar segala aktivitas PETI di Sekotong dihentikan. Tidak hanya di Sekotong di lokasi PETI lainnya di NTB juga harus dihentikan.

Di samping itu, untuk meminimalisir dampak yang sudah terjadi, pihaknya juga akan segera menyusun rencana aksi daerah yang salah satu bentuk kegiatannya yakni memberikan edukasi kepada penambang, keluarga penambang dan lingkungan penambang untuk tidak melakukan PETI lagi. "Edukasi ini penting dilakukan supaya mendorong masyarakat berhenti dan tidak menggunakan merkuri," katanya.

Jauh sebelumnya, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram (Unram) menyebutkan pihaknya juga menemukan bayi tanpa anus sebagai dampak dari penggunaan merkuri di PETI kawasan Sumbawa Barat. PETI ini menyebabkan kelainan bawaan misalnya bayi tidak ada anusnya, bayi yang tidak ada jari-jarinya di tangan, bahkan ada bayi yang tidak mendengar, kata Dr Hamsu Kadryan Dekan FK Unram.

Hal itu, kata dia, akan menjadi masalah kelak ketika si bayi sudah tumbuh besar khususnya dalam bersosialisasi hingga mencari nafkah. Sementara itu, Wakil Ketua Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati Drwiega, menyebutkan paling tidak terdapat empat sentra pengolahan hasil PETI di Sumbawa Barat yang bisa bebas menggunakan merkuri seperti di Barea dan Lamonga.

Mereka bisa bebas membeli zat merkuri itu di pasaran. "Home industry ini dampaknya fatal, tapi dibiarkan, satu botol kecil harga merkuri Rp 1,5 juta," katanya.

Padahal, kata dia, dampak dari penggunaan zat itu di lingkungan tidak bisa hilang serta merta meski mereka telah beralih dalam penggunaannya.

Seperti peristiwa Minamata, Jepang saja lingkungannya membutuhkan waktu 14 tahun untuk bebas dari cairan tersebut. "Kandungan itu ada di laut hingga di dapur rumah, bayangkan berapa investasi untuk membersihkannya," katanya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement