Rabu 13 Nov 2019 01:35 WIB

Istana Pastikan Pilkada Langsung tak Diubah

Jokowi menginginkan pilkada langsung.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Hafil
Komisaris Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk Fadjroel Rahman memberikan keterangan kepada wartawan saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/11).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Komisaris Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk Fadjroel Rahman memberikan keterangan kepada wartawan saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman, memastikan bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung tidak akan berubah. Pernyataan Fadjroel ini menyusul pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menilai pilkada langsung ikut menyumbang efek negatif, terutama politik berbiaya tinggi.

Fadjroel menyampaikan, kepala daerah tetap akan dipilih secara langsung bukan melalui DPRD seperti yang diwacanakan. Presiden Joko Widodo (Jokowi), ujar Fadjroel, menyampaikan pandangannya bahwa Indonesia tetap menggunakan sistem pilkada langsung.

Baca Juga

"Pilkada langsung masih menjadi mekanisme pemilihan kepala daerah yang paling relevan di Indonesia. Pada dasarnya, sistem ini menciptakan kedekatan rakyat dan pemimpin daerah dalam proses pembangunan lokal," jelas Fadjroel di istana, Selasa (12/11).

Presiden, kata Fadjroel, juga berpandangan bahwa evaluasi pilkada sebaiknya ditujukan pada teknis penyelenggaraan pilkada. Maksudnya, evaluasi agar pilkada bisa menghapus praktik politik uang, menciptakan proses pemilihan yang efisien, sehingga pilkada tidak lekat dengan biaya tinggi.

"Teknis penyelenggaraan pilkada juga (harus) mampu mengatasi polarisasi sosial berkepanjangan di tengah masyarakat," kata Fadjroel.

Selain itu, Fadjroel juga menyebut bahwa Jokowi meyakini mekanisme pilkada langsung merupakan cermin kedaulatan rakyat/demokrasi dan sejalan dengan reformasi 1998. 

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengungkapkan wacana revisi undang-undang pilkada. "Pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tetapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi," kata dia, pekan lalu.

Ia mengungkapkan, seorang calon kepala daerah setidaknya harus memiliki uang sekitar Rp 30 Miliar. Ia juga mengaku tidak heran ketika ada kepala daerah yang tertangkap karena terbukti korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement