Selasa 12 Nov 2019 18:52 WIB

KPPOD: Pilkada Harus Langsung Sesuai Prinsip Otonomi Daerah

KPPOD menilai pemilihan pejabat publik harus mendengar rakyat.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) harus dilakukan secara langsung. Hal tersebut sesuai prinsip otonomi daerah (otda) dan demokrasi.

Menurut dia, pelaksanaan pilkada harus mendengar suara rakyat. "Ini eranya otonomi demokrasi yang itu intinya adalah mendengar rakyat dalam pemilihan pejabat publik dan mendengar pada saat pembuatan kebijakan publik," ujar Robert saat dihubungi Republika, Selasa (12/11).

Baca Juga

Ia menuturkan, dari kaca mata otonomi daerah perlu dilihat bahwa pemimpin daerah yang dihasilkan pilkada harus bisa bekerja dan tidak melakukan tindakan korupsi. Kepala daerah yang juga berintegritas membangun daerahnya demi kesejahteraan warganya. 

Namun, kata dia, pilkada asimetris atau penerapan pilkada secara berbeda di daerah baik langsung maupun dipilih DPRD bisa dimungkinkan untuk sejumlah wilayah tertentu. Ia mencontohkan pilkada tak langsung bisa diterapkan di Papua dan Papua Barat.

"Papua itu memang sangat kompleks tapi juga perlu lihat sensitifitas sosial dan politik yang juga cukup rawan. Disinilah yang saya lihat perlu dibuka pembicaraan soal apakah skema untuk sementara ini memang asimetris melalui pemilihan DPRD," kata dia. 

Robert menekankan, pelaksanaan pilkada tak langsung itu harus dibuatkan peta jalan yang akhirnya daerah tersebut tetap mengimplementasikan pilkada langsung. Pilkada tak langsung hanya diselenggarakan hingga daerah itu benar-benar siap.

Ia menuturkan, daerah yang melaksanakan pilkada tak langsung bisa dilihat dari tingkat kompleksitasnya luar biasa dan tingkat sensitifitas politisnya lebih rentan. Pemilihan oleh DPRD dengan sederhana melokalisir konflik ke tingkat elite saja sehingga tidak melibatkan massa yang itu sangat rentan terjadi konflik dan pergesekan.

Menurut Robert, hanya itu saja latar belakang alasan dilakukannya pilkada oleh DPRD. Pelaksanaan pilkada tak langsung itu bukan dalam konteks agar biaya politik lebih rendah dari pilkada langsung maupun bebas politik uang dan tindak pidana korupsi.

Pilkada tak langsung tidak menjamin prosesnya berjalan tanpa politik uang justru tawar-menawar dan mahar politik akan lebih masif terjadi antara partai politik, calon kepala daerah, maupun anggota DPRD. Untuk itu, kata Robert, pemerintah harus mengkaji pilkada tak langsung secara mendalam dan komprehensif. 

"Sebelum memutuskan asimetris atau tidak kajian sosiologis, kajian politik itu penting sekali untuk melihat apakah memang masyarakatnya itu sudah pada tingkat kedewasaan politik yang cukup atau tidak. Kalau elite mah sudah pasti berkonflik," jelas Robert.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement