Jumat 08 Nov 2019 04:02 WIB

Ketika Novel Baswedan Diposisikan Sebagai Orang Jahat

Tanpa bukti mereka menuduh penyerangan Novel Baswedan tidak pernah ada.

Penyidik KPK Novel Baswedan
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Penyidik KPK Novel Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*

Novel Baswedan diserang orang tidak dikenal dengan air keras lebih dari dua tahun yang lalu. Pada 11 April 2017 sekitar pukul 04.35 WIB, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan kaki dari Masjid Al-Ikhsan, tempat menunaikan ibadah shalat Subuh, ke rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kala itu, kabar menyebar dengan cepat melalui media sosial dan media massa. Air keras itu mengenai wajah Novel.

 

Laporan medis dari Singapura yang dikutip media massa menyatakan bahwa Novel mengalami luka bakar ringan sampai sedang pada bagian wajah. Namun, di bagian matanya, ada kerusakan hingga 95 persen. Kerusakan ini terjadi karena kerusakan jaringan setelah terkena air keras.

 

Dua tahun lalu, Novel mendapat banyak simpati. Novel adalah penyidik KPK dengan latar belakang kepolisian. Namun, ia justru menyidik kasus yang menentang korps cokelat, seperti kasus yang melibatkan mantan kakorlantas Mabes Polri Djoko Susilo.

Dua tahun lalu, integritasnya sebagai penyidik KPK pun tidak diragukan. Apalagi, kemudian ia menjadi korban penyerangan orang yang tidak dikenal.

Serangan itu diduga dilancarkan ke Novel terkait penyidikan kasus di KPK. Pengakuan atas kinerjanya di KPK menjadi pembicaraan warganet di media sosial. Novel adalah simbol perlawanan terhadap korupsi.

Dua tahun, dengan berbagai dinamika politik yang sering kali menyeret-nyeret persoalan hukum, kasus Novel tidak menemui titik terang. Ada yang diperiksa, tapi tidak ada tersangka. Beragam tim dibentuk, tetapi tidak pernah mengantarkan penyelidikan ke penyidikan dengan tersangka tertentu.

Dua tahun, dan akan menjadi tiga tahun pada April mendatang, membuat publik bertanya-tanya soal kinerja kepolisian untuk mengungkap kasus ini. Lebih luas lagi, soal komitmen Presiden Joko Widowo (Jokowi) soal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Pertanyaan-pertanyaan soal kinerja dan komitmen ini berubah beberapa hari terakhir ini. Perubahan itu karena sebagian orang meragukan peristiwa penyerangan terhadap Novel. Seingat saya, tudingan bahwa Novel bersandiwara soal penyerangan terhadap dirinya sudah muncul beberapa bulan lalu. Namun, gemanya tidak kentara hingga satu pekan terakhir.

Netizen, yang entah punya kepakaran di bidang medis atau tidak, bicara soal kondisi Novel ketika hendak berangkat ke Singapura pada dua tahun lalu. Bermodalkan video dari sebuah stasiun televisi, warganet mengeluarkan analisis atau pertanyaan-pertanyaan yang menggiring opini bahwa penyerangan dengan air keras tidak pernah terjadi.

 

Pernyataan-pernyataan itu disusun sehingga sebagian orang akan bilang "Oh, masuk akal, ya." Respons yang mengabaikan bahwa sebuah analisis yang menuduh tidak hanya harus masuk akal, tetapi harus disertai oleh bukti.

Media massa pun berusaha menunjukkan bukti-bukti soal penyerangan tersebut. Namun, sebagian orang tetap tidak percaya dengan suguhan bukti tersebut.

Sebagian warganet mempertanyakan motif media atau melabeli media sebagai media yang tidak kredibel. Ya mungkin ini memang zamannya di mana media dengan proses verifikasi fakta dan data sulit dipercaya dibandingkan analisis di media sosial yang berdasarkan logika. Kalau soal motif politik, saya yakin akun yang melakukan analisis di media sosial pun tidak bebas motif politik.

Soal motif politik ini, jika menilik ke beberapa bulan lalu, 'serangan' terhadap KPK bisa dengan mudah ditemui. Saya tidak meragukan bahwa warga memang seharusnya tetap skeptis dan kritik terhadap lembaga harus tetap dikedepankan.

Kritik terhadap KPK masih seputar kinerja pun kerap muncul. Kritik terhadap kinerja misalnya perkembangan kasus mandek atau kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang levelnya kejaksaan. Namun, beberapa bulan ini pembahasan bukan hanya soal itu, melainkan juga urusan personal pegawai: agama. Informasi yang beredar di media sosial seputar 'geng celana cingkrang' di KPK.

 

Gerakan anti-KPK ini pun mendudukkan orang-orang yang sempat berseberangan untuk urusan politik pada bangku yang sama. Gerakan anti-KPK ini kemudian memuncak dengan informasi yang terbatas pada analisis (yang katanya masuk akal) dan tidak disertai bukti serta menganggap laporan medis dari Singapura hanya isapan jempol.

KPK dan Novel yang sebelumnya sebagai simbol perlawanan korupsi pun tidak lagi diposisikan sebagai 'pahlawan'. Kini, KPK dan Novel justru diposisikan sebagai 'orang jahat'. Sungguh ironi bagi seseorang yang sudah kehilangan satu penghilatannya.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement