REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sebanyak 150 guru besar (gubes) dari 40 universitas yang berasal dari beberapa negara di Asia berkumpul di Surabaya pada 4-7 November 2019. Acara yang digagas Dewan Guru Besar Indonesia (DGBI) tersebut dimaksudkan untuk memperjuangkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah internasional. Kesemuanya pun sepakat agar Bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa ilmiah internasional.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain, Dosen Fakultas Liberal Arts, Maejo University Thailand, Assst Prof Siriporn, Learn Indonesia Asia PTE. LTD Singapora Endina Asri Widratama, Prof Dr Kong Yung Hun Hankuk University of foreign Study Korea Selatan dan Majlis Professor Negara (MPN) Malaysia Prof Kamarudin Said.
Pembina Pertimbangan DGBI, sekaligus Ketua Dewan Gubes UGM, Prof Drs Koentjoro menjelaskan, Bahasa Indonesia diperjuangkan menjadi bahasa internasional karena beberapa alasan. Di antaranya untuk menghapus aturan di mana orang Indonesia yang akan menjadi guru besar, memerlukan penelitian yang terindeks atau berbahasa Inggris.
"Hampir penelitian-penelitian terindeks itu semuanya berbahasa Inggris. Pertanyaannya adalah, apakah orang Indonesia mau menjadi profesor tidak bisa hanya gara-gara tidak bisa bahasa Inggris," ujar Koentjoro dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis (7/11).
Korntjoro juga tidak sepakat, seorang pakar tidak bisa mengekspresikan kepakarannya dengan menggunakan bahasa sendiri, dan harus berbahasa Inggris. Urgensi lainnya, kata dia, adalah karena saat ini sudah masuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dimana seharusnya, ada bahasa pemersatu masyarakat Asean.
"Seharusnya di Asean itu ada bahasa pemersatu yang bahasanya dengan bahasa lokal. Bahasa itu adalah bahasa Indonesia atau Melayu," ujar Koentjoro.
Koentjoro tidak memungkiri sempat adanya perdebatan alot dalam forum yang digelar tersebut. Itu setelah ada beberapa yang hadir mengusulkan agar yang diperjuangkan untuk menjadi bahasa ilmiah internasional adalah bahasa melayu nusantara. Sebelum akhirnya diputuskan, tetap bahasa Indonesia yang diperjuangkan menjadi bahasa ilmiah internasional.
"Tapi kemudian yang dari Malaysia Prof. Komarudin Said mengatakan, penuturnya yang paling banyak itu adalah orang Indonesia. Karena itu penutur yang lainnya itu akan mengikuti. Akhirnya diputuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah internasional," kata Koentjoro.
Setelah ada forum diskusi ini, kata Koentjoro, tahapan selanjutnya adalah bagaimana agar hasil diskusi bisa dijalankan. "Kita juga akan membuat terminologi atau istilah-istilah ilmiah yang barang kali di Malaysia, di Brunei, sudah diistilahkan sendiri. Nanti kita sinkronkan," kata dia.
Selain itu, kata Koentjoro, juga akan dibentuk klaster-klaster atau kelompok-kelompok ilmu. Dari kelompok-kelompok ilmu itu akan mengadakan seminar internasional di Universitas Islam Riau dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang rencananya digelar pada Maret 2020.
"Di situ sambil musyawarah sambil bentuk ketua organisasinya, sekretarisnya. Setelah itu bikin jurnal, bikin prosiding dengan melibatkan negara-negara lain yang menggunakan penutur bahasa Indonesia," ujar Koentjoro.
Terkait arah kebijakan, kata Koentjoro, DGBI akan menemui menteri dan pejabat terkait, agar ikut mendorong bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah internasional. "Kalau perlu kita sowan presiden untuk menekankan ini," kata dia.
Sementara itu, Rektor Unesa, Prof Nur Hasan mengungkapkan dukungannya untuk membuat bahasa Indonesia go international dalam bahasa ilmiah. Salah satu bentuk dukungan itu terlihat saat pihaknya berkunjung ke Republik Ceko. Di sana pihaknya menyiapkan tenaga pengajar untuk pembelajaran bahasa Indonesia kepada mahasiswa.
"Jadi kami ingin percepatan tidak hanya dilakukan di Asia tapi juga Eropa," katanya.
Dia berharap momentum tersebut bisa memberikan masukan pada kabinet baru agar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu bisa digunakan dalam bahasa ilmiah. "Ini momentum menjaga marwah bahasa untuk go international," ujarnya.