Kamis 07 Nov 2019 06:13 WIB

Pemprov DKI Diminta Buat Solusi Baru Soal TPST Bantargebang

Belum ada pemilahan sampah dari tingkat sumber.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
Suasana Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota (TPST) Sunter, Kamis (25/11), Jakarta. Rencananya Pemprov DKI Jakarta akan membangun fasilitas pengelolaan sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di sini. Groundbreaking ITF Sunter akan dimulai 1 Desember mendatang.
Foto: Republika/Imas Damayanti
Suasana Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Kota (TPST) Sunter, Kamis (25/11), Jakarta. Rencananya Pemprov DKI Jakarta akan membangun fasilitas pengelolaan sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di sini. Groundbreaking ITF Sunter akan dimulai 1 Desember mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta tetap memberikan solusi nyata jangka panjang masa depan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang sebelum membangun Proyek ITF Sunter beres. Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS), Bagong Suyoto mengungkapkan di TPST Bantargebang hampir semua zona sudah penuh. Diprediksi 2023-2024 TPST akan ditutup padahal pertambahan sampah baru kiriman dari Jakarta sekitar 7.500-7.800 ton/hari.

"Ini merupakan jumlah sampah yang masih campuran sangat besar," ungkapnya, Rabu (6/11).

Menurutnya, kondisi sampah yang di TPST Bantergebang yang komplek ini, membutuhkan teknologi yang bisa mengolah semua sampah. Ia melihat belum ada pemilahan sampah dari tingkat sumber. Sebab sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang adalah sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga.

Padahal pengelolaan TPST Bantargebang sudah menggunakan berbagai metode dan strategi untuk mengatasi sampah yang semakin banyak tersebut. Tetapi, sambung dia, mengapa tetap tidak mampu mengatasi permasalahan, apa penyebabnya?

"Dapat dikatakan secara ilmiah, bahwa TPST Bantargebang tidak punya teknologi modern pengolahan sampah skala besar. Misal, pengolahan sampah kapasitas 2.000-3.000 ton/hari. Dan setidaknya TPST Bantargebang punya plant pengolahan sampah berteknologi modern skala besar sebanyak tiga plant," imbuh Bagong.

Kedua, lanjut dia, dalam waktu mendesak ini Pemprov DKI harus melakukan perluasan lahan, setidaknya untuk membuat zona baru dan guna menampung sampah baru. Lahan baru itu juga dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur dan penempatan teknologi modern pengolah sampah lama skala besar.

Sebab Pemprov DKI tidak mungkin membiarkan gunung-gunung sampah dengan volume deposit hingga 60-70 juta ton. Gunung-gunung sampah lama itu semakin membesar sejak dioperasikan tahun 1989an. Namun, ia menilai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tampaknya tidak menyetujui ide perluasan lahan itu guna merevitalisasi total TPST bantargebang.

Ia sangat menyayangkan bila Gubernur Anies lebih fokus pada proyek ITF di wilayah indoor. Gubernur tidak tahu akar masalah sebenarnya yang ada di dalam TPST Bantargebang sekarang dan dua tahun belakangan. Sejumlah stakeholder telah memberi peringatan dan saran.

"Gubernur Anies tampaknya kurang peduli dengan nasib TPST Bantargebang, yang sudah lebih 20 tahun menolong DKI Jakarta. Terutama masyarakat 3 kelurahan (Cikiwul, Ciketingudik dan Sumurbatu) di Kecamatan Bantargebang," kata Bagong.

Mereka itu hanya dapat uang bau untuk 18.000 KK sebesar Rp 300.000/bulan. Jumlahnya sekitar Rp 70 miliar/tahun. Beda dengan dana kemitraan yang diberikan ke Walikota Bekasi/ Pemkot Bekasi mencapai Rp 650 miliar. Ia mengingatkan jangan sampai uang sampah dari DKI ini tidak sampai ke warga di sekitar TPST Bantargebang, tapi justru dinikmati segelintir elit di pemerintahan Bekasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement