Pada mulanya, kawasan ini tidak terlalu ramai karena terletak di pesisir pantai. Tetapi setelah dibuka jalur pelayaran internasional—dikenal dengan “Jalur Sutra”—kawasan ini menjadi pusat peradaban baru. Berbagai ekspedisi pelayaran dari penjuru dunia singgah di kota pelabuhan yang telah dikenal sejak abad I dengan nama “Malaka.”
Armada-armada pelayaran yang singgah di selat ini berasal dari berbagai negara, seperti Arab (Yaman), Persia, India, China, dan Eropa. Sebagai pelabuhan transit, Malaka menjadi tempat bertemu antarbangsa yang melakukan aktivitas perdagangan, pertukaran budaya, bahkan kepentingan ekspedisi militer. Demikian antara lain hasil penelitian MAP Meilink Roelofsz dalam “Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630.”
Malaka memang dikenal sebagai pintu gerbang Jalur Sutra. Selama berabad-abad lamanya kawasan ini telah menjadi jalur penting dalam dunia pelayaran menghubungkan Arab-India di sebelah barat laut Nusantara dan China di sebelah timur laut Nusantara. Sampai kisaran abad VI, nama Malaka sudah masyhur di dunia internasional.
Sebuah pelabuhan internasional yang menjadi pusat transaksi berbagai macam komoditas dari berbagai negara. Dampaknya, di sepanjang pesisir Malaka—selat pemisah wilayah Indonesia dengan Malaysia—bermunculan kota-kota berbasis pelabuhan seperti Malaka (kini Malaysia), Tumasik (kini Singapura), Aceh, Padang, Pariaman, Pasaman, dan lain-lain. Dari kawasan pesisir inilah agama Islam berhasil diterima dengan baik oleh warga pribumi yang berinteraksi dengan para saudagar dan pelaut dari bangsa Arab, India, Persia, dan China.
Berbagai teori jalur masuknya Islam ke nusantara memang cukup beragam. Masing-masing teori memiliki bukti dan argumentasi yang kuat. Seperti teori masuknya Islam ke Nusantara dari Yaman, Gujarat (India), dan Persia lebih kental pengaruhnya di kawasan pesisir Sumatera. Sementara pengaruh Islam dari China (Kanton) di kawasan Nusantara lebih kentara di sepanjang pesisir Pulau Jawa.
“Dilihat dari model pakaian dan budaya tulisan di kesultanan Aceh dan Malaka lebih mirip dengan budaya kesultanan Mughal. Artinya, pengaruh Islam yang masuk lewat selat Malaka datang dari para saudagar Yaman, Persia, dan India. Tetapi di pesisir Pulau Jawa, pengaruh Islam dari China lebih kentara. Secara geografis, letak Jawa dengan China memang lebih dekat,” demikian jelas Azhar Ibrahim, PhD, pakar budaya dan sastra Melayu dari National University of Singapore kepada Suara Muhammadiyah.
Lewat masyarakat pesisir yang berbasis pelabuhan itulah agama Islam hadir di Nusantara. Masyarakat di kota yang berbasis pelabuhan memiliki karakter yang berbeda dengan pedalaman. Pada umumnya, orangorang di pesisir memiliki karakter terbuka. Inilah ciri khas masyarakat di kota yang berbasis pelabuhan. Mereka bersifat terbuka karena secara intensif bertemu dan berinteraksi dengan para pendatang dangan latar belakang budaya yang berbeda-beda.
“Masyarakat di kawasan pesisir memang lebih terbuka,” jelas Bahtiar, MAg, dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol, Padang. “Dari situlah agama Islam diperkenalkan kepada warga pribumi yang kemudian masuk ke pedalaman.”
Di Padang, misalnya, hampir seluruh kawasan pesisir adalah pelabuhan. Yaitu, Pelabuhan Padang, Pariaman, dan Pasaman. Masyarakat di pesisir mudah menerima sesuatu yang datang dari luar. Misalnya, di Padang yang merupakan kota berbasis pelabuhan, pada tahun 1915, Haji Abdullah Ahmad berhasil mendirikan sekolah modern Adabiyah School. Padahal, sebelumnya tokoh pembaru Islam ini telah merintis pula sekolah modern di Padang Panjang yang berada di kawasan pedalaman.
Hasilnya, masyarakat pedalaman menolak gagasan sekolah modern ini. Tetapi ketika didirikan kembali di kota Padang, justru sambutan masyarakat setempat sangat positif. Hal ini menujukkan bahwa masyarakat pesisir lebih terbuka dengan kemajuan dan kemodernan.
Sedangkan di Pariaman yang juga termasuk kawasan pesisir terdapat pembaru Islam ternama, Syekh Burhanuddin, tokoh sufistik bermazhab Syafii. Menurut Bahtiar, dari kawasan pesisir inilah ajaran Islam menyebar ke pedalaman di Sumatera Barat. Tetapi di kawasan pesisir Pasaman masyarakat lebih kental bermazhab Syi’i. Ini menunjukkan keterbukaan masyarakat pesisir dan kuatnya pengaruh dari luar.
Di pesisir utara pulau Jawa, misalnya di Surabaya, Tuban, Lamongan, Semarang, Banten, dan lain-lain, masyarakat setempat memiliki karakteristik yang berbeda dengan pedalaman. Penelitian Nur Syam (1995) tentang “Tradisi Islam Lokal Pesisiran” menemukan karakter masyarakat pesisir yang terbuka dan egaliter.
Selain terbuka, masyarakat pesisir tidak mengenal kasta sosial seperti yang terjadi di pedalaman. Tradisi feodalisme tidak dikenal di kalangan masyarakat pesisir. Satu hal yang cukup menarik bahwa masyarakat pesisir lebih mengedepankan skill individu dan profesi. Dengan skill dan profesi, maka uang atau harta lebih utama ketimbang gelar kebangsawanan.
Islam dari pesisir sebenarnya bukan paradigma baru. Ia merupakan wajah awal Islam setelah proses asimilasi penduduk pribumi dengan para pendatang dari berbagai negara (Yaman, Persia, India, dan China). Setelah masuk ke pedalaman, proses akulturasi berlangsung cukup lama sehingga melahirkan berbagai varian Islam.
“Sesungguhnya, Islam dari pesisir itu lebih dekat dengan Muhammadiyah,” kesan Prof Dr Abdul Munir Mulkhan, SU kepada Suara Muhammadiyah. “Sayangnya, Muhammadiyah tidak punya tradisi yang hidup di pesisir.”
(bahan: gsh, rif penulis: abu rafif)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2017